Detik demi detik terus berjalan menggiring malam berjumpa pagi. Menuntun purnama segera meminang fajar shadiq sebelum matahari terang menyinari. Hujan yang semalam turun perlahan berlalu. Tinggal rintik yang lirih terdengar sesekali memukul lamunan di atap-atap, di daun-daun, dan di sebuah tepi padang yang tak berujung yang sering disebut hati.
Dalam peluk hangat redup cahaya sebuah kamar, Abdur nampak telah menyelesaikan bacaan Al-Qur'annya. Ia nampak bangkit perlahan dari sehelai sajadah, kemudian berjalan ke arah sebuah rak berisi kitab-kitab. Ia letakkan mushaf tercinta tersebut di situ, kemudian ia alihkan langkahnya berlanjut menuju sebuah lemari. Abdur nampak mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam lemari tersebut. Setelahnya, ia beralih melangkahkan kaki menuju pintu, lalu menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding yang dekat dengan pintu tersebut. Sejenak ia tebarkan pandangannya ke sisi kamar, ke setiap celah kosong yang mampu dimasuki pandangannya. Ia nampak menarik nafas perlahan.
"Astagfirullahal'adzim...," ucap Abdur lirih, selirih hembusan nafasnya yang keluar perlahan.
Selepas melaksanakan sholat malam, Abdur merasakan hatinya sedikit lebih tenang. Meski dalam pandangannya, pertanyaan demi pertanyaan masih terus bermunculan menanyakan makna tersembunyi akan sebuah mimpi yang terus berulang setiap malam. Namun, alhamdulillah kini raut kebingungan di wajahnya berangsur-angsur pudar.
Abdur terlihat membuka perlahan lembar demi lembar dalam buku catatan tersebut. Kemudian, ia berhenti di sebuah lembar kosong dan mengarahkan penanya menulis sesuatu di lembar tersebut.
Kasih, ketahuilah
siapa pun engkau, dan
dimana pun dirimu bertempat
sekarang, setiap detik akan
terus memangkas jarak kita berdua.*****
Assholatu wassalamu 'alaik....
Tarhim lamat-lamat terdengar menggema dari pengeras suara masjid. Fajar shadiq nampak perlahan menyingsing dari ufuk nan jauh, di ujung timur dunia. Kamar-kamar yang semula hening beranjak mulai riuh. Para santri satu per satu mulai meninggalkan indahnya alam mimpi menuju pengharapan ridho Ilahi. Begitu pula dengan para penduduk kamar Uwais Al Qarniy, yang tak lain adalah Abdur dkk. Dengan sabar dan telaten, Abdur yang sedari tadi telah terjaga terlihat membangunkan teman-temannya yang masih terlelap. Perlahan namun pasti, satu per satu anggota kamar terbangun kemudian beranjak keluar kamar. Kini, tinggal seorang santri yang nampak begitu susah dibangunkan Abdur yaitu Faqih. Dengan sabar dan seakan tanpa lelah, Abdur terus berusaha menggoyang-goyangkan mimpi Faqih.
"Hei.... Qih. Bangun!!!! Sudah shubuh ini lho," ujar Abdur sambil terus menggoyang-goyangkan tubuh Faqih.
"Emmmmh.... 5 menit Lagi lah, Dur. Uaammmhh...," gumam Faqih seraya menggeliatkan tubuhnya.
Abdur nampak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan temannya tersebut. Ia kemudian memacu otaknya lebih kencang guna mencari sebuah cara agar salah satu temannya ini mau bangun. Tak lama, satu ide muncul dalam benaknya. Ia lantas menggoyang-goyangkan kembali tubuh Faqih, kali ini lebih kencang, seraya berkata,
"Hei... Qih. Ayo cepat bangun. Itu Gus Azhar -salah satu putra mbah yai yang terkenal dengan ketegasannya bersikap- sudah sampai di kamar sebelah," ujar Abdur dengan sedikit berteriak seraya menggoyang-goyangkan tubuh Faqih lebih kencang.
Mendengar hal tersebut, seketika Faqih nampak terbelalak. Ia segera beranjak dari tidurnya dengan raut wajah panik.
"Yang benar kamu, Dur," ujar Faqih sambil terduduk menghadap Abdur dengan raut wajah tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shubuh Itu Terbit dari Sepasang Matamu
RomanceAbdurrahman ialah seorang pemuda yang gigih, cerdas, dan berakhlak mulia. Lahir dari keluarga yang amat sederhana. Menghabiskan sebagian besar perjalanan kisahnya di sebuah pondok pesantren yang amat bijak perangainya. Pada suatu ketika yang terama...