Pada Setiap Jeruji Besi

42 20 0
                                    

Malam telah beralih menjadi fajar pagi ini. Bukan lagi bercerita tentang hening dan dingin seperti malam, fajar hendak berkisah tentang sebuah resah yang ramai dalam benak setiap manusia. Dan semakin meninggi dirinya, semakin terang pula resah yang ramai itu. Bersama cericit burung di dahan-dahan, pagi menggiring langkah para pejuang menuju kawah candradimuka.

*****

Mereka datang berduyun-duyun dari segala arah. Menaiki apa-apa yang mereka punya atau menaiki apa-apa yang mereka pinjam sementara. Tak ada yang tahu pasti, kecuali mereka. Mereka mulai berdatangan. Satu, dua, tiga, lalu banyak. Mereka berkumpul di sini. Di tanah sederhana, bakal rumah baru bagi mimpi-mimpi mereka. Dan lebih, bakal dunia baru bagi jiwa-jiwa mereka.

*****

Pukul 08:00

Suasana pesantren begitu ramai pagi itu. Hari ini adalah hari dimana para santri baru mulai masuk pondok pesantren. Semua santri lama terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mengatur lalu lintas di jalan. Ada yang mengarahkan serta menata kendaraan para wali santri di sekitaran kompleks sekolah yang untuk sementara waktu dialih fungsikan menjadi lahan parkir, sebab lapangannya yang terkenal luas. Dan ada juga yang sibuk membantu menjadi penunjuk jalan serta membawakan barang bawaan para santri baru menuju kamar mereka masing-masing.

Namun, hal aneh justru terlihat pada diri Miftah. Ia sedari tadi terlihat hanya berputar-putar mengelilingi sekitaran kompleks pesantren mencari sesuatu. Entah apa atau mungkin siapa yang sedang ia cari. Ia tak juga terlihat menemukannya.

Hampir 15 menit telah ia habiskan untuk menyusuri setiap ruangan. Dan kini, ia telah sampai di kamar Ali bin Abi Thalib. Kamar yang tepat berada di atas kamarnya, Uwais Al Qarny. Kamar tersebut 2x lebih luas ketimbang kamarnya. Ia sangat berharap, semoga hal yang dicarinya dapat ia temukan di kamar tersebut. Sebab ia nampak sudah begitu lelah setelah berjalan ke sana ke kemari tanpa arah sedari tadi. Dan benar saja, baru ia sampai di pintu kamar, ia sudah menemukan apa yang ia cari. Segera ia dekati temuannya itu,

"Eh, Dur! Ayo bangun!!!", seru Miftah segera dengan suara lantang sembari menggoyang-goyangkan tubuh Abdur yang tergeletak tak berdaya di lantai kamar.

Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya Abdur pun nampak menggeliat perlahan, pertanda bahwa ia masih bernyawa. Tak berselang lama, kedua kelopak matanya ikut-ikutan bergerak-gerak perlahan. Untuk sementara waktu, Miftah merasa sedikit lega karenanya.

"Ada apa sih, Mif?", sahut Abdur dengan suara lirih kepada Miftah sambil memicingkan kedua matanya.

"Elah... Awakmu lali po? Saiki kan dino pertama cah-cah anyar do teko meng pondok",
"(Elah... Apa kamu lupa? Sekarang kan hari pertama anak-anak baru datang ke pondok)" jawab Miftah seketika seakan tengah berusaha mengingatkan Abdur akan suatu hal.

"Lah terus...?, seloroh Abdur bertanya.
Miftah nampak terbelalak sebentar begitu mendengar kalimat pertanyaan itu keluar dari lisan Abdur. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menarik dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat setelah melihat sikap sahabatnya itu.

"Kae lho meja absensi kehadiran kosong, gak ono wong sing jaga",
"(Itu lho meja absensi kehadiran kosong, nggak ada orang yang jaga)" ucap miftah selanjutnya dengan nada sedikit tinggi seperti orang yang sedang emosi seraya menunjuk ke arah luar.

"Lah terus nek kosong, aku njuk kon piye?", "(Lah terus kalau kosong, aku suruh ngapain)" ucap Abdur enteng dengan nada bertanya pada Miftah yang raut wajahnya mulai nampak ngempet kekesalan sambil sesekali kembali memejamkan kedua matanya.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang