Senja di Ujung Duka

11 8 0
                                    

Tak ada yang pernah
tahu benar pasal hatinya,
kecuali, hanya sekedar
prasangka-prasangka.

Waktu terasa terjun bebas setiap saat. Tak ada yang pernah tahu kapan kiranya ia benar-benar telah lepas landas dari bandar 'asr. Baru saja pagi ditemu, bisa jadi yang dijumpa sebenarnya hanya sisanya yang telah menjadi sepotong siang. Baru saja disangka bahwa itu adalah siang, mungkin sebenarnya itu adalah senja yang terlampau terang. Dan oleh karenanya, mungkin patut jika kuwartakan pada burung-burung itu, bahwa,

Seminggu adalah bentang
senja, yang mataharinya luruh
di sepasang air matamu.

*****

Pukul 17:00

Di beranda sebuah rumah di pinggiran kota, terlihat seorang gadis tengah duduk sendirian menatap senja yang luruh menawan. Di pangkuannya nampak terbaring sebuah buku beserta penanya yang terkulai lemah tak berdaya. Tak ada satu pun yang tahu, sedang apa gadis itu. Bahkan bunga-bunga yang mekar di taman-taman beranda, hanya mampu bertegur tanya, "sedang apa dia?"

Sedang menyiasati pernyataan-Nya,
yang jadi pertanyaannya.

Pandangan gadis itu amatlah jernih. Bahkan dari kejernihan pandangnya, binar-binar jingga serupa senyum sebuah wajah, yang entah wajah siapa. Tak ada yang tahu betul, seperti apa khayalan nya senja itu. Bahkan kunang-kunang yang satu per satu terlihat beterbangan, hanya mampu saling kedip bertanya, "dia itu sedang kena teluh apa?"

Teluh yang menjadikan
mawar-mawar itu kembali utuh.

Perlahan namun pasti, binar cahaya yang ia lihat dari barat yang tak berujung di sana mulai redup redam. Seketika ia tertunduk sejenak. Setelahnya, tangan kanan gadis itu yang begitu halus meraih pena yang terkulai tak berdaya. Kemudian, ia bangunkan sebuah buku yang sedang lelap tertidur di pangkuannya hingga sampai di sebuah halaman yang sepi hatinya. Ia nampak perlahan mengisi lembar yang kosong di hadapannya itu, dengan beberapa kalimat.

"Hei, kamu yang jauh disana. Sudah dengar akan suara batinku? Sudah tahukah dirimu akan sebuah permintaan yang ketika kuadukan pada Tuhan, jawabannya adalah dirimu? Sudahkah...?" tulis gadis itu di awal dengan ditemani bulir-bulir air suci di sepasang matanya.

Sejenak gadis itu nampak menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.

"Aku menunggumu selalu. Sedari dulu, aku tak pernah lupa menjadikan dirimu salah satu pijakan bagi setiap doa yang kulangitkan," tulis gadis itu dengan deru nafas yang lembut namun menyentuh di kalbu perindu.

Sejenak gadis itu kembali menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Hanya saja, kini ada satu dua tetes air yang entah darimana asalnya jatuh menimpa aksara.

"Apakah kau tahu, dahulu pada satu ketika aku sempat menitipkan sesuatu padamu? Apakah kau masih ingat? Apakah masih kau jaga titipan itu? Atau justru ia telah pungkas sedari dahulu, bahkan sebelum waktu sempat memorikannya di dalam ingatanmu?" tulis gadis itu dengan kalbu yang telah gerimis .

Sejenak gadis itu untuk kesekian kalinya menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Dan kini, satu dua tetes air yang tadi, telah menjadi pengganti tinta bagi tulisan terakhirnya.

"Hei kamu, bolehkah kupanggil kau kekasih? Seperti setiap mimpi yang kuharapkan wujudnya setiap malam. Dan apakah kau tahu, aku sempat terpikat pada satu sajakmu,
Apakah kau bertanya-tanya?,
mengapa aku tak juga menyapa?
Tolong, beritahulah aku! Bagaimana
cara menyapa, diriku sendiri?
Tahukah kau, kasih? Bahwa sampai detik ini pun aku masih tak kuasa, menyapa diriku sendiri yang bersemayam dalam dirimu," tulis gadis itu dengan tinta yang kini adalah air matanya.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang