Shubuh Itu Terbit

23 9 0
                                    

Pukul 05:30

Dari ufuk timur nan jauh di sana, matahari terlihat beranjak naik menaiki tangga langit. Burung-burung terdengar mulai bercericit mesra di dahan-dahan, pagi. Angin bergerak dalam senyap membelai tubuh-tubuh yang tengah fokus mengikuti "Ngaji Shubuh" di aula serbaguna gedung madrasah.

Bertetes-tetes tinta nampak seakan memperindah ukiran kitab-kitab salaf dengan ilmu dan dhawuh-dhawuh yang bertalu-talu diucapkan lisan Pak Ali. Terlihat para santri begitu fokus mengikuti kegiatan tersebut. Tak terkecuali Abdur, dkk yang nampak duduk di tengah-tengah ratusan santri, yang terkumpul dalam sebuah tempat yang sering disebut Pak Ali sebagai Raudhatil Jannah - taman surga-tersebut.

"Ingat!!!,
dengan totalitas kita tidak perlu pilih pilih..dan tidak akan merasa berat,
keraguan membuat kita sering kurang mampu," salah satu dhawuh pak Ali kepada para santri.

Dan siapa sangka, dari dhawuh beliau tersebut, hati seseorang telah benar-benar tegak berdiri dengan kokohnya. Selepas beberapa waktu yang lalu, ia sempat sedikit rapuh. Bahkan, boleh dikata dirinya telah hampir rubuh, sempurna. Dan hati itu, ternyata ada di tengah-tengah santri tersebut.

Siapakah ia?
Ia yang ada di antara
dua jalan, lurus, atau berkelok.

Perlahan dari tempatnya mengintip, matahari mulai mencurahkan segenap cahaya dirinya. Kedinginan perlahan mulai berlalu, dengan embun-embun yang menjelma bagai butiran kristal di ujung batang padi-padi. Dan ketika hal itu terjadi, Pak Ali terlihat perlahan menutup kitab yang sedang beliau kaji. Setelahnya, beliau tutup majelis tersebut dengan ucapan Alhamdulillahi robbil 'alamin. Dan kemudian, perlahan beliau nampak beranjak pergi dari tempat tersebut.

"Ngaji Shubuh" pun telah resmi selesai pagi itu. Beberapa santri nampak segera beranjak meninggalkan aula serbaguna. Derap langkah kaki kemudian segera memecah keheningan yang sedari tadi terbangun begitu megah. Tak terkecuali dengan teman-teman Abdur yang nampak segera berberes guna meninggalkan tempat tersebut.

Namun, lain dengan yang dilakukan Abdur. Ia justru terlihat hanya memutar sedikit tubuhnya ke arah timur, kemudian menghadapkan wajahnya ke arah matahari yang seakan tengah tersenyum pada sepasang matanya yang terlihat berbinar-binar, pagi itu. Raut wajah Abdur pun nampak begitu berbunga-bunga, bagai bunga-bunga mawar yang tengah mekar di taman-taman.

"Hari ini adalah hari pertemuanku untuk pertama kalinya dengan gadis itu. Gadis yang selama ini selalu kupinta dalam setiap doaku. Gadis yang bahkan tak kuketahui siapa namanya hingga pagi ini. Sungguh, aku dari semalam hingga kini hanya sibuk menerka-nerka, siapakah dia? Apakah dia adalah "Aisyah" nya zaman ini?" gumam Abdur dalam batinnya.

Ia kemudian terlihat menarik nafas dalam-dalam. Udara pagi yang masih begitu sejuk sekita memenuhi seluruh rongga dadanya. Ia kemudian terlihat memejamkan mata, membayang-bayang suatu hal.

*****

Kasih, pernah kubermimpi pada suatu malam. Di sebuah padang yang antah berantah, yang dihujani sinar purnama. Yang harumnya adalah wewangian mawar-mawar, yang kesejukannya adalah perputaran udara yang terbelenggu bukit-bukit sekitar, yang sedikit kuterka kala itu, ia adalah nafasmu yang berputar-putar dalam doa yang satu.

Kasih, saat itu aku sendiri. Sendiri dalam keramaian bintang-bintang di ketinggian sana. Tempat dimana binatang-binatang menggantungkan satu pinta paling berharga milik mereka, kemudian berlalu mencari makna-makna yang berceceran dimana-mana.

Kasih, kulakukan hal itu. Seperti apa yang dilakukan binatang-binatang tadi. Kugantungkan satu pintaku yang paling rahasia di sana, kemudian kuberlalu mencari-cari makna, yang kuharap selalu berujung pada-Nya.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang