Siapa Gerangan Sepasang Mata Itu?

46 22 0
                                    

Dirimu tertunduk malu
kala itu, menyelami tanah
yang menjadi asal usul
rintihan pasrahmu.

Matahari perlahan mulai menaiki tangga langit. Purnama pun menyingkir ke sudut langit, tak terlihat. Langit nampak mulai ceria, tersenyum manis, bagai seorang gadis yang tertawan dalam hati seorang lelaki. Pedesaan mulai bernafas. Pasar mulai dijarah penduduk desa.

Aspal jalanan mulai merekam jejak-jejak yang tertinggal. Jejak seorang pak tani yang berjalan pelan menuju sawah,. Memanen padi, menyembunyikan di bawah capingnya rasa lelah. Dengan segudang cinta, ia tukar tetes keringat dengan tawa anak istrinya.

Jejak seorang ibu-ibu pedagang sayuran, yang berjalan menuju pasar. Mendagangkan sayuran, mengesampingkan rasa gundah dan gusar demi anak-anaknya agar lupa akan rasa lapar. Jejak para anak-anak kecil, yang senyumnya merekah secerah mentari. Mereka yang mungil-mungil, yang belum tahu cara mencorat-coret hati, lembaran yang masih sangat putih. Dan selebihnya adalah jejak-jejak para manusia, dengan segunung permintaannya.

Jalanan selalu jujur, pada siapa pun. Tak terkecuali pada pohon randu tua. Yang mengelupas kulit batangnya, yang berguguran daun-daunnya, yang berhamburan serat-serat kapasnya.

"Aku sangatlah bangga pada mereka yang tak pernah lelah mencari lemah," gumam jalanan desa begitu mendengar derap langkah yang tak biasa merayap di atas tubuhnya.

"Aku pun sangat bangga pada mereka yang mampu menafsirkan bahagia begitu sederhana," timpal pohon randu tua begitu menyadari bahwa yang dibawah naungannya tak lain adalah para kekasih-Nya.

Para pejuang barulah pulang dari medan laga. Memikul berkantung-kantung ghanimah yang akan mereka bawa nantinya, saat pulang ke rumah. Jalanan dan pohon randu tua, tampak tersedu-sedu bahagia.

*****

Pukul 06:00

"Mau kemana, Fa?", tanya Faizal pada Wafa yang telah siap dengan celana training hitam dan kaos biru tua.

"Biasa lari-lari pagi biar tambah sehat", jawab Wafa menimpali pertanyaan Faizal.

"Emm... aku ikut dong, boleh?", tanya Faizal meminta izin kepada Wafa dengan nada penuh harap.

"Bolehlah, ngapain juga gak boleh. Sana gih cepet ganti baju", sahut Wafa seketika memerintahkan Faizal sambil terlihat sesekali merentang-rentangkan kedua tangannya.

"Siaaap...", timpal Faizal segera, ia kemudian terlihat bergegas cepat-cepat menuju lemarinya.

Beberapa saat kemudian ketika Faizal sedang sibuk berganti pakaian dan Wafa terlihat masih sibuk melakukan perenggangan badan, satu suara tiba-tiba menyahut,

"Aku ora dijak po?",
"(Aku nggak diajak apa?)" seru suara itu tiba-tiba.

Mendengar seruan tersebut, Wafa seketika menghentikan kegiatannya. Ia kemudian mengitarkan pandangan ke sekeliling kamar. Dan menemukan bahwa sumber seruan tersebut tak lain adalah Abdur yang terlihat rebahan di pojok kamar.

"Lah tak kiro wis turu e Dur. Sih melek jebul awakmu?",
"(Lah kirain dah tidur Dur. Masih bangun ternyata kamu)" ucap Wafa seketika setengah bertanya kepada Abdur.

"Iya, penginnya sih tidur. Tapi entah mengapa aku susah merem pagi ini", lenguh Abdur menjawab pertanyaan Wafa.

"Ooo... gitu ternyata", sahut Wafa seraya mengangguk-anggukkan kepala.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang