Lah Kok Hilang?

17 17 0
                                    

Pukul 06:00

Di timur nan jauh di sana, matahari nampak telah naik sedikit lebih tinggi. Langit telah cerah berwarna biru dengan gumpalan awan-awan putih yang meramu. Yang seakan jadi pertanda bahwa dunia takkan lagi berduka. Cahaya yang menghangatkan hadir menyentuh denyut nadi minggu yang indah, pagi-pagi.

Wajah-wajah yang berseliweran ke sana ke mari nampak tersenyum lebih bahagia. Burung-burung bernyanyi-nyanyi, riang gembira di dahan-dahan. Derap langkah, deru kendaraan, bisikan suara, cericitan percakapan, semua kembali menguar. Kehidupan sekali lagi harus bernapas, untuk kesekian kalinya.

*****

"Cek... Cek...," suara gumaman seseorang terdengar berdengung dari pengeras suara yang terletak di tembok bagian luar kamar Abdur.

Pagi itu, Abdur dkk terlihat sedang begitu santai dengan kegiatannya masing-masing. Faqih nampak tengah serius membaca sebuah novel di pojok kamar, sedang Wafa nampak tengah rebahan santuy sambil sesekali memejamkan mata di samping Faqih. Sepertinya ia merasa ngantuk berat pagi itu. Entah kenapa.

Di salah satu dinding kamar yang tak jauh dari pintu, nampak Idris dan Miftah yang tengah mengobrol, sambil terkadang tertawa cekikikan. Entah membicarakan apa mereka berdua hingga terlihat begitu bahagia. Dan di depan sebuah lemari nampak Faizal yang sedang melipat beberapa helai pakaian, sedang persis di sebelah lemari itu nampak seseorang tengah bersandar di dinding bersama sebuah pena dan sebuah buku. Ia nampak sesekali memejamkan mata sambil mendongakkan kepala, seperti sedang memperjelas suatu bayangan yang terbesit di pikirannya.

Faizal sepertinya merasa penasaran dengan apa yang sedang diperbuat oleh sosok yang duduk di sampingnya tersebut. Terlihat dari tingkah sepasang matanya yang sesekali melirik ke arah halaman kosong sebuah buku yang tergeletak di atas pangkuan sosok itu.

"Sedang apa sih, Dur," tanya Fazial tiba-tiba di sela-sela pekerjaannya kepada sosok itu yang ternyata adalah Abdur.

Mendengar namanya disebut, seketika Abdur memalingkan pandangannya ke arah Faizal yang nampak masih sibuk dengan pekerjaannya melipat beberapa helai pakaian.

"Ah... Tidak sedang apa-apa kok, Zal," ujar Abdur seketika menjawab.

"Jangan bohong. Itu lho kamu dari tadi sibuk nulis-nulis sendiri. Nulis apa hayooo...?" tanya Faizal kembali seakan kurang puas dengan jawaban yang baru saja disampaikan Abdur.

" Bukan apa-apa kok, Zal", ujar Abdur kembali berusaha meyakinkan.

"Aaaa.... Jangan-jangan kamu lagi bikin surat cinta ya? Buat siapa, Dur? Siapakah santriwati itu yang berhasil membangun kembali hati temanku yang kacau ini, hehehe...," ujar Faizal meledek sambil terkekeh lirih dan melirik ke arah Abdur.

"Ah.... Ada-ada aja kamu (seraya menggeleng-gelengkan kepala). Jangan mudah berprasangkalah, sebab sebagian prasangka itu salah," sahut Abdur seketika seakan menasihati Faizal sambil tersenyum.

"Hehehe... Iya juga ya. Astaghfirullahal'adzim...," ujar Faizal terkekeh mendengar perkataan Abdur.

Sedetik kemudian, Faizal terlihat kembali fokus melanjutkan pekerjaannya agar cepat selesai. Begitu pula Abdur, yang nampak kembali fokus pada buku, pena, dan coretan-coretan kecil yang maknanya masih rahasia.

"Cek-cek... Cek-cek...," pengeras suara itu terdengar bersuara kembali dengan sedikit berdengung.

Wafa yang sedari tadi nampak rebahan di samping Faqih seketika mengisyaratkan raut wajah tak suka akan situasi tersebut. Sebab mungkin dengungan yang dihasilkan oleh corong tersebut membuatnya tak bisa tidur dengan tenang.

"Halah.... Dari tadi cak-cek terus. Ngomong nggak, berisik iya," lenguh Wafa dengan nada tinggi penuh kekebalan seraya membenamkan wajahnya ke lantai.

"Potong saja kabelnya, Fa. Biar gak ribut terus tu corong," sahut Faqih tiba-tiba juga dengan nada tinggi penuh kekesalan, sebab mungkin dengungan dari corong tersebut juga mengganggu konsentrasinya dalam membaca.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang