Apakah Kamu Bersedia?

13 8 0
                                    

Assholatun khoirun minna naum...

Perlahan namun pasti, rintik hujan yang luruh sejak semalam mulai mereda. Teriring oleh fajar shadiq yang kian benderang memanggil-manggil pagi, tinggallah embun-embun seperti permata di sorot sebinar cahaya dari timur nan jauh di sana. Bau tanah masihlah menguar begitu kuat. Daun-daun serta kelopak-kelopak bunga terlihat bagai memakai intan berlian. Terdengar di ketinggian sana, burung-burung berkicau riang gembira menyambut pagi yang semoga berbahagia. Dan di kerendahan dunia, manusia-manusia terdengar sahut menyahut mengamini doa yang dikumandangkan semesta.

Tuhan, jikalau Engkau
mengajakku berbincang
lewat derai air mata, maka
ijinkan aku, menafsirkan
setiap tetes air hujan, yang
semalam Kau sedekahkan,
ke tengadah tanah.

Kiranya, begitulah samar-samar kudengar doa semesta, yang merayap di tanah. Yang melubangi tanah tersebut. Yang begitu kamu sampai di ujungnya yang terlihat adalah sesuatu yang di ketinggian langit.

*****

Pukul 05:00

Perlahan, satu per satu jamaah sholat shubuh nampak keluar dari dalam masjid. Suasana jadi semakin lengang dibuatnya. Yang tersisa di dalam masjid kini tinggal beberapa santri saja, termasuk juga Abdur di dalamnya yang sedang sibuk nderes Al-Qur'an. Ayat-ayat Tuhan terdengar menggema begitu lantang meski mereka semua membacanya dari kedalaman hati yang sepi. Kiranya, manusia benar-benar tak mampu meredam Firman Yang Maha Kuasa untuk bersuara, meski telah mereka sembunyikan suara itu di sebuah kamar rahasia yang sama sekali tak diketahui siapa-siapa, kecuali Tuhan.

Di tempat pengimaman, Mbah Yai juga terlihat masih duduk sambil melafadzkan dzikir pagi yang biasa beliau baca sesudah sholat shubuh. Hanya saja, kali ini Mbah Yai nampak lebih lama berada di pengimaman, seperti sedang menunggu seseorang. Entah menunggu siapa.

Tak berselang lama, satu per satu santri tersebut pun nampak menutup serta menciumi mushaf yang habis mereka nderes tadi, kemudian beranjak keluar masjid. Suasana jadi semakin sepi saat itu. Hanya tersisa Abdur di barisan belakang dan Mbah Yai di pengimaman saja yang masih terlihat bertahan di dalam.

"Shodaqallohul'adzim," gumam Abdur tiba-tiba memecah kesepian tersebut seraya menutup serta menciumi mushaf yang sedari tadi berada di pangkuannya.

Perlahan ia terlihat meletakkan mushaf di genggaman tangannya di atas sebuah meja yang tak jauh berada di sampingnya. Kemudian, perlahan ia terlihat beranjak dari duduknya. Namun, belum sempat Abdur sempurna beranjak, sebuah suara menyeru,

"Dur...," seru sebuah suara menyebut namanya.

Seketika Abdur menghentikan gerakannya. Kemudian ia segera memalingkan wajahnya ke arah sumber suara tersebut. Dan betapa terkejutnya ia begitu menyadari bahwa yang menyebut namanya barusan adalah Mbah Yai yang nampak tengah duduk bersila menghadap ke belakang, tepat ke arah Abdur. Segera ia mengurungkan niatnya untuk beranjak lebih jauh dan memilih untuk mendekat ke tempat Mbah Yai. Abdur nampak merangkak perlahan menuju pengimaman, tempat Mbah Yai berada.

"Nggih, bah," ucap Abdur seraya menyalami Mbah Yai begitu sampai di hadapan beliau.

Setelah selesai menyalami Mbah Yai, Abdur nampak duduk di hadapan beliau seperti duduknya orang yang sedang tahiyat akhir dalam sholat seraya terus menundukkan kepala. Ia sama sekali tidak memandang wajah Mbah Yai. Sedang Mbah Yai nampak hanya tersenyum melihat tingkah Abdur.

"Umurmu saiki wis piro, Dur?"
"(Umurmu sekarang sudah berapa, Dur?)" tanya Mbah Yai kepada Abdur dengan suara berwibawa.

"27 tahun, bah," jawab Abdur seketika dengan suara lirih.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang