Apapun yang memang
takdirmu, pasti, entah kini
entah nanti, akan datang
meski sebatas, semilir angin.Matahari semakin lama nampak semakin terang, benderang, benderang, dan benderang. Namun, pada akhirnya redup pula. Telihat segerombolan burung-burung terbang beriringan, pulang ke sarangnya. Pak tani dan bu tani nampak perlahan berjalan dituntun lelah, mengetuk pintu rumah yang bahagia. Air terlihat terus mengalir lewati saluran irigasi, hingga sampai di tenggorokan padi-padi. Matahari, burung. Pak tani, bu tani. Air, irigasi. Sawah, batu-batu, padi-padi. Dan beragam bayang-bayang, tak juga berlalu dari renungan sepasang mata.
*****
Pukul 17:00
Abdur telah selesai dengan segala cat dan warna-warna, kelas dan segala kenangannya, lelah beserta kucuran keringatnya. Namun sayang, ia belum juga pungkas dengan dengung permintaan yang seakan abadi, di telinganya,
"Abah berniat menjodohkan Fatimah denganmu".
Abdur kini tengah duduk menyepi di pojok barat lantai 3 gedung madrasah. Tempat biasa ia berbincang dengan segala resah, gundah, dan seluk beluk dirinya.
"Apa sebenarnya keistimewaanku? Mengapa aku dipilih?" gumam Abdur dalam batin.
"Aku hanyalah anak seorang petani biasa, bahkan boleh disebut nestapa. Hidup keluargaku hanya kenal bahasa" bisa makan hari ini pun, meski sekali sudah alhamdulillah ". Kami bukanlah orang kaya. Aku juga hanya seorang santri biasa, yang belum mampu berbuat apa-apa. Bahkan masa depanku akan bagaimana masih terlalu buram untuk dilirik sekarang. Aku bukanlah putra seorang kyai, yang keberlangsungan hidupnya sedikit terjamin. Namun, mengapa mesti aku? Apa sebenarnya alasan abah Abdullah memilihku sebagai mantu beliau? "ucap Abdur terus bertanya-tanya dalam kesendirian.
Perlahan, Abdur mulai mengitarkan pandangan matanya tak tentu arah dan tujuan. Sejenak, ia lama memandang segerombol pak tani dan bu tani yang baru akan pulang ke rumah setelah seharian penuh berjemur di bawah terik sinar matahari yang terlampau benderang. Sekejap ia teringat akan bapak serta ibunya di rumah.
"Apa kabar bapak dan ibu hari ini? Sehatkah? Pak, tahukah panjenengan akan sebuah pesan yang baru kuterima? Bu, tahukah panjenengan akan satu permintaan yang terlampau mengguncang badan? Tahukah? Atau jikalau belum, sudah tahukah bapak dan ibu akan rencana-rencana rahasia yang terlampau sembunyi dibalik kata pesan? Ataukah jangan-jangan ini adalah sebuah buah dari keistiqomahan doa bapak dan ibu?"
Tanpa Abdur rasa, haru bercampur duka mulai merangkul jiwa Abdur yang gelisah. Ada sedikit air mata, yang mulai tampak timbul perlahan di sudut matanya. Di detik berikutnya, ia perlahan beralih memandang sekawanan burung-burung yang berpasang-pasang pulang ke sarang, yang entah dimana alamatnya.
"Duhai burung-burung yang sungguh tinggi kau di sana. Tahukah engkau akan warta baru yang tersiar di langit perihal nasibku? Jikalau belum kau tahu itu, bolehkah kutitipkan sedikit resah ini kepadamu, ke kedua sayapmu yang kuharapkan menerbangkan tinggi-tinggi ragu ini, agar tak lagi ia kujumpai di bumi?"
Perlahan namun pasti, titik-titik air itu mulai bertemu pasangannya, kemudian mereka nampak duduk bersama di tepi kelopak matanya. Semakin lama semakin banyak titik-titik air tersebut tanpa pernah Abdur sadari. Di detik selanjutnya, ia mulai beralih mengamati guratan-guratan awan tipis yang abstrak melintang, menghiasi senja yang lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shubuh Itu Terbit dari Sepasang Matamu
RomanceAbdurrahman ialah seorang pemuda yang gigih, cerdas, dan berakhlak mulia. Lahir dari keluarga yang amat sederhana. Menghabiskan sebagian besar perjalanan kisahnya di sebuah pondok pesantren yang amat bijak perangainya. Pada suatu ketika yang terama...