Tatkala Waktu Masihlah Kecil

48 21 0
                                    

"Eh... Wis sore ki. Bali yuh!",
"(Eh... Sudah sore nih. Pulang yuk!)" ajak salah satu anak kepada keempat temannya yang masih sibuk mencari belut sawah.

"Eh iya. Ya wis lah ayuh bali, mengko selak maghrib!"
"(Eh iya. Ya sudah ayo pulang, entar keburu maghrib!)" ajak satu anak yang lain sambil beranjak ke galengan sawah.

"Ayuh, iki ya wis lumayan,"
"(Ayo, ini juga sudah lumayan)" timpal salah satu anak yang sedang menghitung-hitung seberapa banyak belut yang sudah mereka peroleh sore itu.

Tak lama berselang, dengan tubuh penuh lumpur bercampur keringat, kelima anak tersebut beranjak meninggalkan satu petak sawah yang telah mereka anggap layaknya taman bermain. Bahkan lebih dari itu, layaknya sebuah rumah. Rumah yang menaungi suka duka mereka. Rumah yang memberi mereka asa, bahwa asal bahagia tak selalu setumpuk uang dan bergunung harta. Bahwa dalam ketidak punyaan, terdapat bahagia yang pasti Tuhan selipkan. Mereka susuri galengan berumput itu, yang menghantar tawa mereka sampai di alamat sebenarnya.

Sedangkan, dari atas lantai 3 gedung madrasah, Abdur terpaku. Angin kencang semilir menerpa tubuhnya, namun tak juga ia berpaling dari lamunannya. Pandangannya hening, terpusat pada kelima anak tadi. Pada sebakul senyum dan tawa yang mereka sungging bersama.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan," Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(Qs. Ibrahim: 7)

Hujan deras menerpa kalbu keringnya, tanpa ada satu wujud pun yang tahu selain dirinya dan Tuhan. Sedang gerimis nampak samar di kedua pipinya, bagai embun yang luruh pagi-pagi di jendela. Angin kencang semilir kembali menerpa tubuhnya. Kini, lamunannya mulai bergerak mundur ke belakang.

Di ujung hari, yang
kau sebut senja itu,
padi bergoyang-goyang,
matahari berjalan perlahan
menuju bilik kecilnya, doamu.

*****

"Dur cepet tangi. Wis shubuh iki!",
"(Dur cepet bangun. Sudah Shubuh ini)" suara ibu yang lantang tiba-tiba mengguncang bangunan indah mimpi-mimpi Abdur kecil.

"Uaaammmhhh... 5 menit malih bu lah",
"(Uaammh... 5 menit lagi bu lah)" jawab Abdur meminta keringanan kepada ibunya sambil sesekali menguap dan berguling-berguling di ranjang kayunya.

"Ora ana 5 menit-5 menitan. Ayuh tangi!",
"(Nggak ada 5 menit-5 menitan. Ayo bangun)" tegas ibu kembali sambil menggenggam lengan kanan Abdur kecil kemudian mendudukkannya.

"Cepetan wudhu, terus sholat. Habis sholat langsung mandi, terus siap-siap ke sekolah. Ingat! Jangan sampai terlambat", ucap ibu memerintah kepada Abdur yang masih terlihat lesu di atas ranjang kayunya, setelahnya beliau kemudian beranjak keluar kamar.

"Nggih, bu", sahut Abdur dengan suara lemah sambil terus mengumpulkan segenap kesadarannya.

Abdurrahman, hamba Dzat Yang Maha Pengasih. Lahir di pelosok sebuah desa, dinaungi sebuah keluarga yang amat sederhana, namun begitu taat pada agama. Bapaknya adalah seorang buruh tani, sedang ibunya adalah seorang penjual gorengan keliling. Abdur --begitu orang tua dan teman-teman memanggilnya-- adalah seorang anak yang cerdas, rajin, berbakti pada kedua orang tuanya, serta baik hati.

Abdur selalu bangun cepat setiap pagi. Kadang sebelum shubuh, namun lebih sering ia bangun ketika adzan shubuh baru saja berkumandang. Kadang ia bangun dengan sendirinya, kadang dibangunkan oleh ibu atau bapaknya. Selepas bangun, ia akan langsung bergegas mengambil air wudhu dilanjutkan sholat shubuh. Setelah sholat shubuh, ia biasanya tidak langsung mandi. Ia akan terlebih dahulu menyapu dan membersihkan seisi rumah, termasuk seluruh perabotan yang ada di dalamnya seperti piring, sendok, dll. Sebab terkadang selepas sholat shubuh bapaknya telah terlebih dahulu berangkat ke sawah, sedang ibunya menyusul di belakang, berjalan menyusuri jalanan desa guna menjajakan berbagai jenis gorengan. Hal itu ia lakukan tanpa pernah menunggu perintah kedua orang tuanya. Baginya, membahagiakan hati kedua orang tuanya adalah sebagian dari kebahagiaan dirinya juga tujuan hidupnya. Dan salah satu usaha yang secara istiqomah ia lakukan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan membantu menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah yang mampu ia kerjakan tanpa menunggu perintah.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang