Hari-hari Peninggalan

9 10 0
                                    

Tanpa terasa, detik telah punah sebagai sebuah detik ketika ia telah menjadi sebuah menit. Tanpa ada yang tahu, menit telah sirna sebagai sebuah menit ketika ia telah menjadi sebuah jam. Dan sembunyi-sembunyi, jam telah habis sebagai sebuah jam ketika ia telah menjadi sebuah hari. Begitulah seterusnya, sehingga hari, minggu, bulan, dan tahun perlahan berjalan berlalu.

Tak ada yang pernah benar-benar mampu mengira, seberapa tebal halaman buku miliknya, sebelum ia pungkas membaca. Tak ada yang pernah benar-benar mampu menyangka, seluas apa rumahnya, sebelum ia habis memasukinya. Dan tak ada yang benar-benar mampu untuk tahu, apapun yang belum wujud sempurna dalam hidupnya.

Empat tahun berjalan, dan sisanya adalah hari-hari peninggalan.

*****

Pukul 17:00

Senja di ujung sana, lihatlah, begitu indah. Ia bersemayam dibalik punggung rumah-rumah warga desa sebelah. Yang didalamnya mungkin tersembunyi sebuah "bahagia" yang tengah berpura-pura. Angin semilir lembut membelai-belai tanaman padi, yang esok hari akan siap dipanen pak tani.

Terlihat di lantai 3 gedung madrasah, tepat di pojok sebelah barat, sesosok bayangan yang selama bertahan-tahun selalu mencari-cari makna hidupnya lewat matahari yang kian sirna direngkuh malam. Ya, Abdurlah itu. Sepasang matanya terlihat sibuk mencari-cari tanda-tanda yang berserakan, apapun itu. Bisa mungkin padi, bisa mungkin pak tani dan bu tani, dan bisa mungkin juga matahari.

Sedang sepasang telinganya tengah sibuk menguping kisah-kisah pasrah, yang bersumber dari banyak pita suara. Kadang dari kerikil-kerikil batu, kadang dari cericitan burung-burung yang terbang pulang, dan kadang dari gemericik air dalam saluran irigasi. Namun, kesemua itu seakan belum mampu membantu sebongkah hatinya yang selama selama 4 tahun ini masih saja ruwet mengurai benang-benang kusut yang merah dalam tali temali yang menyimpul sana sini di sepanjang kisahnya.

Dan telah diketahui oleh langit beserta saudara-saudaranya. Tentang sedikitnya hikayat yang berhasil Abdur dengarkan lewat bisikan-bisikan.

Bisikan burung-burung yang terbang pulang,

"Dahulu, ketika bapak dan ibumu pertama kali meletakkan tubuh serta akalmu yang lugu, di atas tanah ini, dan dibawah langit yang sakit ini. Mereka sempat berpesan banyak hal, bukan? Apakah masih kau ingat semuanya?" tanya burung-burung seraya beranjak terbang pulang.

Abdur nampak hanya menganggukkan kepala mendengar pertanyaan itu.

"Benarkah? Sungguhkah kau masih ingat pesan untuk selalu menjaga kesehatan jasad dan ruhmu? Sungguhkah kau masih ingat sebuah titah untuk selalu mematuhi dan sendiko dhawuh terhadap seluruh dhawuh-dhawuh keluarga ndalem? Benarkah itu?" tanya burung mendetailkan pertanyaannya, sembari semakin mengembangkan kepakan sayapnya.

Sekali lagi, Abdur terlihat hanya menganggukkan kepala mendengar pertanyaan itu.

"Lantas, mengapa kau bisa lupa begitu saja akan sebuah dhawuh pak Ali, yang katanya benar-benar telah kau patri dalam hati itu. Bunyinya,
kebenaran tidak perlu banyak kata kata
kebenaran sering di tutupi dan bahkan berusaha di musnahkan tapi tidak akan bisa
kebenaran akan selalu muncul..bahkan setelah kematian .."

Abdur seketika terperanjat kala itu. Sepasang matanya terbelalak dengan diiringi detak jantungnya seakan berhenti berdetak tiba-tiba begitu mendengar kalimat itu. Abdur sejenak membisu beberapa waktu. Sedang burung-burung perlahan menghilang ke ke" ada"annya, dan setelahnya datanglah bisikan-bisikan dari ijo royo-royonya padi-padi.

"Dahulu, aku sempat mengira, dan kiranya kiraanku itu benar adanya. Sepertinya kau pernah bermimpi berjumpa dengan "dia" yang kini entah dimana langkahnya berteduh mesra,bukan. Dan sepertinya "dia" pernah sekali berpesan padamu, sebelum shubuh kala itu menyala?"

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang