Jejak Tiga Pasang Sepatu

22 15 0
                                    

Pukul 03:00

"Astagfirullahal'adzim," ucap Abdur seketika begitu membuka kedua matanya yang semula terpejam.

Keringat dingin nampak mengembun di dahinya. Nafasnya terdengar bergemuruh seakan saling kejar menyesaki paru-paru. Wajahnya sarat akan raut kebingungan kala itu. Perlahan, ia nampak bangkit dari posisi tidurnya. Abdur seketika nampak termangu dalam duduknya, entah mengapa. "Mungkin ia sedang merenungi mimpinya". Entahlah, tak ada yang lebih tahu hal itu kecuali sepi yang mengisi kekosongan di penghujung malam.

Di luar, terlihat hujan masih merintik perlahan sejak semalam. Kaca jendela terlihat sudah mulai mengembun tebal, pertanda bahwa rumput serta pepohonan di halaman telah terlampau kedinginan. Angin terdengar berdesir lirih memasuki celah-celah sepi yang disediakan malam untuk hidupnya. Sayup-sayup suara hewan terdengar saling sahut menyahut, menyambut ramainya pesta hujan. Abdur kemudian nampak melirikkan kedua matanya ke arah jam yang terpasang di atas pintu kamar.

"Jam 03:00 dan lagi-lagi mimpi itu. Apa sebenarnya yang sedang terjadi padaku?" gumam Abdur bertanya-tanya dalam hati.

Ia kemudian nampak sekali melirik ke arah luar, lewat celah pintu kamar yang sedikit terbuka. Matanya tertuju pada sebuah ember kecil di depan kamar yang menampung air hujan dari atas genteng. Ember itu terlihat telah penuh oleh air (mata) hujan, namun hujan seakan belum ingin berlalu meninggalkannya.

Abdur kemudian terpaku pada setiap rintik air hujan yang turun itu. Seketika, reka ulang adegan nampak samar tertayang di hadapan kedua matanya.

*****

Kala itu ialah senja. Waktu dimana rona jingga serta mega merah hadir mengiringi matahari yang mulai merebah, di ujung pasrah. Desir angin terlihat berjalan perlahan, menggoyang-goyangkan tangkai-tangkai bunga. Harum tercium begitu semerbak mewangi, sesosok manusia nampak tengah berdiri dengan seribu pandang yang tak pasti.

Pada sebuah padang bunga, cericitan burung-burung begitu riuh di dahan-dahan. Dan di ketinggian awan, sebuah telaga bening melukis wajah senja yang paripurna. Dan di tanah-tanah lapang, pertanyaan demi pertanyaan bermekaran. Satu per satu.

Ada sebuah desis bersuara,

Oh... Jagat Kekasih,
Dikau memeram perih,
pada hatiku, yang rubuh
digebuk ragu.

*****

"Dimana aku ini?" gumam Abdur bertanya-tanya pada dirinya sendiri dengan raut wajah kebingungan.

Kini, Abdur nampak tengah memutar-mutarkan badannya seraya menebarkan pandangan ke daerah di sekelilingnya. Dan sejauh yang ia lihat di tanah tersebut hanyalah hamparan taman bunga yang beraneka warna. Di sebuah sudut yang dekat terlihat segerombolan mawar merah yang melingkari sebuah pohon randu yang seketika ia baca sebagai rindu. Sedang di sudut lain yang jauh terlihat kelopak-kelopak melati yang menari-nari disentuh angin yang tiba-tiba ia baca sebagai ingin. Dan di banyak lingkaran bunga yang tersebar dimana-mana, ia seketika membaca segalanya sebagai cinta. Dan Abdur kini telah tepat berada di tengah-tengah mereka semua. Diantara padang luas penuh bunga itu yang sering ia baca sebagai dunia.

Beberapa saat kemudian, ia nampak mendongakkan kepalanya ke arah bentang langit semesta. Dan yang ia lihat di situ, hanyalah matahari yang hendak jatuh di sebuah ujung nan tak terkira jauhnya. Hanya seberkas luas mega merah yang bercokol di cakrawala, yang meramu jingga jadi sebuah adonan senja yang tak lagi mudah diterjemah kata-kata buta. Dan hanya beberapa ekor burung yang terlihat sibuk mencari terjemahan-terjemahan itu dengan terbang ke barat, yang kemudian menjadikan mereka semua seketika fana di sebalik bayang-bayang.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang