Malam Tertunduk Malu

31 19 0
                                    

Pukul 16:00

"Alhamdulillah".

Kalimat itu terucap dari mulut Abdur ketika selesai mengamati secarik kertas terakhir yang berada di genggamannya. Ia letakkan kertas itu kembali ke atas meja sembari meletakkan kepalanya juga. Ia nampak begitu kelelahan.

"Iya alhamdulillah selesai juga akhirnya, huuuh...", sahut Miftah seketika sambil menghebuskan nafasnya kencang-kencang menggunakan mulutnya.

"Semoga saja mereka semua krasan tinggal dan menimba ilmu di pondok pesantren ini. Dan semoga mereka semua dapat menggapai segala cita-cita yang mereka bawa dari rumah", lanjut Miftah berujar.

Abdur pun mengangkat kepalanya. Ia mendongak ke langit. Sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia berkata,

"Amin... Amin".

Sore itu, tepat sebelum adzan tanda sholat ashar berkumandang, seluruh santri yang terdaftar sebagai santri baru telah datang ke pondok pesantren. Raut wajah kelelahan nampak terpancar dari wajah Abdur, dkk. Juga dari seluruh santri lama, yang sedari tadi pagi telah menjalankan tugasnya masing-masing, mulai dari yang hanya mengatur lalu lintas hingga yang menjadi petunjuk jalan bagi para santri baru ke kamarnya.

"Astagfirullah... Ya Alloh. Capeknya", lenguh Idris sambil membenamkan wajahnya ke permukaan meja.

Abdur yang mendengar ucapan itu, lantas memalingkan wajahnya ke arah Idris.

"Husss... Jangan bicara seperti itu," ucap Abdur seketika mengingatkan akan ucapan Idris yang baginya kurang pas untuk diucapkan.

"Iya, Dris. Jangan bicara seperti itu", timpal Faizal selanjutnya yang duduk tepat di samping Idris.

Mendengar perkataan Abdur dan Faizal, Idris pun segera mengangkat kepalanya kembali, lalu memalingkan wajahnya ke arah Abdur dan Faizal.

"Emang nangopo? Aku kan ngomong jujur," "(Memang kenapa? Aku kan ngomong jujur)" ujar Idris dengan suara lunglai seakan tak menyadari dan menyesali atas ucapannya tadi.

"Iya, Dris. Kamu memang bicara jujur. Kita semua di sini juga capek. Tapi seyogyanya jangan kamu bicara seperti itu. Kita di sini kan dengan niat awal untuk membantu pondok pesantren. Lah membantu pondok pesantren sama artinya dengan kita membantu keluarga ndalem. Lah membantu keluarga ndalem sama artinya dengan kita sedang berusaha menyenangkan hati beliau-beliau, para masyayikh kita," ujar Abdur menerangkan dengan nada suara yang tenang kepada Idris yang nampak sangat kelelahan.

"Dan menyenangkan hati beliau-beliau para masyayikh adalah salah satu cara bagi kita semua sebagai seorang santri untuk mendapat barokahnya ilmu. Sebab barokah ilmu seorang santri terletak pada keridhoan gurunya padanya. Betul kan, Dur", sahut Faizal menyela omongan Abdur sambil memandang ke arah Idris kemudian beralih memandang Abdur.

Abdur pun hanya menganggukkan kepala seakan membenarkan perkataan Faizal. Begitu mendengar penjelasan kedua temannya itu, seketika hati Idris seakan tersengat aliran listrik yang mengejutkan. Ia segera menundukkan kepala, sambil bergumam,

"Astagfirullahal'adzim.... Astagfirullahal'adzim...", gumam Idris sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan begitu menyesali apa yang baru saja spontan ia ucapkan tadi.

Dan dari kejauhan, terlihat satu sosok datang berjalan mendekat ke arah Abdur, dkk. Sosok yang tak asing lagi bagi Abdur, dkk juga seluruh santri lama.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang