1) Pria yang Tidak Pernah Meninggalkan Kamar

2K 206 61
                                    

oOoOo

25 April

Berpenghuni, tapi rasanya begitu sepi. Setiap harinya, hanya ada kesunyian di rumah kayu dengan dua lantai ini. Hanya terdengar suara langkah kakiku saja, yang berjalan ke sana ke mari, mencari sesuatu yang tidak aku ketahui.

Langit telah ditelan kegelapan, dan sinar lilin tidak cukup terang untuk menyinari seluruh ruangan. Kubawa sebuah lilin dengan api kecil, yang selalu bergoyang saat aku bernapas di dekatnya.

Sebuah kursi kayu yang biasa aku duduki, memberikan bayangan yang agak menyeramkan. Kursi lapuk itu akan mengeluarkan suara khas saat diduduki, membuat siapa saja akan berpikir dua kali untuk beristirahat di atasnya.

Aku berjalan menuju kamarku yang berada di sayap kiri rumah, di lantai atas. Sambil membawa sebatang lilin, aku mulai mendorong pintu kamar dengan pelan. Tapi sebelum itu, aku melirik sebuah pintu yang akhir-akhir ini nampak dikunci rapat, seakan menutup semua fakta yang ada di dalamnya.

Sudah hampir tiga minggu semenjak kepergian ayah, kamar itu tidak ramai dengan suara bising musik dan gitar dari kakakku. Usianya hanya berbeda tiga tahun dariku. Tapi aku merasa, kalau ia jauh lebih dewasa dibandingkan dengan usianya.

Biasanya, pintu kamar itu tidak pernah tertutup sama sekali, bahkan saat malam hari. Suara bising selalu terdengar dari sana, suara petikan senar gitar yang memekakkan telinga. Langkah kakinya yang cepat, terkadang menggangguku saat aku sedang beristirahat di kamar tidur.

Pemadaman listrik bergilir tengah terjadi di desaku ini. Padahal, cuacanya lumayan bagus, sinar rembulan terkadang mengintip dari balik jendela ruangan, tapi tak lama kembali menutup diri dan bersembunyi di balik awan hitam.

Aku menarik napas, dan mencoba memberanikan diri untuk mendekati pintu kamar kakak, yang letaknya saling berhadapan dengan kamarku. Sinar lilin membuat pintu kayu berwarna cokelat itu nampak terlihat jelas.

Aku mengetuk pintu itu pelan karena aku tahu, seseorang yang ada didalam pasti akan menyadari suara sekecil apa pun itu. "Kakak." Aku memanggilnya.

"Kak, apa Kakak butuh penerangan? Aku akan membawakan lilin lagi." Tak ada jawaban, aku hanya menghela napas kecewa, dan kembali berbalik menuju pintu kamarku.

"Masuk saja." Aku terkejut, ketika mendengar suara kakak dari dalam kamar. Perlahan, aku menekan kenop pintu itu lalu mendorongnya. Ternyata, pintu itu tidak ia kunci.

Dengan hanya sebatang lilin, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalam sana. Tapi, aku bisa yakin melihat seseorang yang tengah duduk termenung di meja belajarnya. Tidak seperti dugaanku, ternyata kakak sudah memiliki sebatang lilin yang ia letakkan tepat di atas meja belajarnya.

"Maaf, aku kira Kakak tidak punya lilin." Ia tidak berbalik, kakak masih memandang ke suatu arah, tapi entah ke mana. "Aku akan kembali ke kamar," ucapku kemudian kembali menarik pintu itu.

"Tunggu dulu," kata Kakak, seperti tengah menahan kepergianku. "Ayah tidak bunuh diri."

Seketika, aku terdiam mendengar ucapan kakak yang begitu menusuk hati dan memori. Ditengah kegelapan, jantungku tiba-tiba berdebar dengan kencang, mendengar kalimat yang keluar dari kakak angkatku itu.

Ia berbalik, kemudian menatap ke arahku. "Ayah tidak bunuh diri, ia dibunuh seseorang." Meskipun hanya dengan sebatang lilin, aku bisa melihat sorot mata kakak yang seperti menegaskan, bahwa apa yang ia katakan saat ini adalah suatu kebenaran.

"Apa maksud Kakak, kenapa Kakak berkata seperti itu?" Aku bertanya dengan gelagapan, kenapa ia mengatakan hal itu disaat seperti ini?

Rambutnya sedikit panjang sampai menutupi bagian belakang lehernya, namun ia terlihat merawat bagian poninya yang nampak dicukur rapi, sehingga tidak menutupi pandangannya. Sebuah rokok nampak terselip di antara jari tengah dan telunjuknya.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang