14) Penuturan Ardi

352 82 2
                                    

oOoOo

Aku tidak begitu yakin, tapi aku akan mengatakan semuanya, semua yang aku alami dan aku ketahui. Rizwan memang orang yang aneh, tiba-tiba saja mendatangiku lalu memintaku melakukan hal yang sedikit berbahaya ini.

Namaku Ardi, aku tinggal berdua bersama ibuku. Ayahku telah meninggal sekitar dua tahun yang lalu karena penyakit diabetes. Kami hidup sederhana di sebuah rumah kecil di pemukiman padat penduduk yang berada di pinggiran kota ini.

Semenjak ayahku sudah tidak sanggup untuk bekerja, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanku ke jenjang sekolah menengah atas. Oleh sebab itu, mendapatkan pekerjaan dengan ijazah SMP begitu sulit untuk seorang pria sepertiku di zaman ini.

Meski pun begitu, aku sebisa mungkin membantu ibuku dalam pekerjaannya yang merupakan seorang buruh cuci harian di sekitar pemukiman dan perumahan orang-orang kaya. Aku memang tidaklah begitu pandai dalam hal mengerjakan tugas rumah, tapi aku sebisa mungkin untuk tidak membebaninya.

Namun aku tidak berdiam diri saja, sesekali aku pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan sampingan dengan upah yang di bawah standar. Semua itu aku lakukan agar aku tidak menjadi beban untuk ibu, walau pun aku sebenarnya tahu, semua usahaku hanya menghasilkan hasil yang begitu nihil.

Saat itu, setelah pulang dari pasar untuk mengangkut beras, salah satu tetangga menghampiriku. Sepertinya, ia memang menunggu kepulanganku yang hampir larut malam ini.

"Ardi, habis pulang kerja, ya? Bagaimana hari ini?" tanya paman Ben basa-basi.

Aku tersenyum ramah, menutupi wajah penatku ini, "Melelahkan, tapi syukurlah semuanya berjalan lancar."

Paman Ben yang merupakan ketua RT itu mengangguk.  "Ouh iya, Di. Kamu tahu tidak? Di jalan Tulip, akan ada pembangunan Toserba baru minggu depan. Bagaimana kalau kamu ikut bekerja di sana bersama saya? Saya rasa, pembangunan itu membutuhkan banyak pekerja saat ini."

Seperti sudah direncanakan oleh Tuhan, aku sangat senang mendengar ajakan paman Ben. Dengan semangat, aku mengangguk mengiyakan. Paman Ben juga tersenyum ketika mendengar jawaban dariku.

Satu minggu sudah berlalu dan aku mulai bekerja di sana. Aku tidak begitu ingat ada berapa pekerja yang bekerja di sana, namun aku sangat ingat kalau aku memiliki dua orang atasan dengan sikap dan karakter yang berlawanan.

Atasan pertama, sekaligus orang yang merancang Toserba ini adalah Pak Wagi. Ia selalu membawa selembar kertas besar, yang mungkin berisi hasil rancangannya. Aku belum pernah melihat isi kertas itu, karena tugasku hanya membantu segala hal yang bisa dibantu.

Pak Wagi adalah orang yang ramah dan murah senyum. Ia memang sering memerintah, tapi dengan batas wajar dan tutur kata yang sopan. Ia mudah berbaur dengan para pekerjanya dan terkadang, ia memilih makan siang bersama kami dibandingkan makan di sebuah Kafe atau restoran.

Perawakannya tinggi dengan rambut yang selalu ditata rapi, kulitnya nampak sedikit gelap karena terlalu sering berdiri di bawah sinar matahari. Aku tidak begitu mengetahui kehidupan atasanku itu, yang aku tahu, ia tinggal bersama adiknya yang merupakan seorang guru.

Satu lagi, seorang pria berperawakan tinggi dan kekar yang selalu berdiri di sampingnya, pak Sato Kai. Ia selalu menatap kami dengan tatapan yang sinis, tiada hari tanpa teriakannya yang kencang dan memekakkan telinga.

Aku sama sekali tidak masalah dengan sikapnya yang tegas dan keras itu, tapi yang membuatku sedikit jengkel dengannya adalah terkadang ia lalai dalam menjalankan pekerjaannya. Yang dirinya lakukan hanyalah menunjuk-nunjuk apa yang harus kami lakukan, sementara ia hanya diam menyeruput kopi dan menelepon seseorang. Pak Sato hanya akan bekerja jika pak Wagi menegurnya dengan halus, bahkan pernah suatu waktu ia tidur seharian saat pak Wagi tengah libur karena sedang sakit.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang