2) Apa yang Dirinya Lakukan

910 127 20
                                    

oOoOo

26 April

Aku merasa semua ingatan itu kembali berputar di dalam pikiranku. Seperti sebuah kaset film ketika kita menekan tombol replay pada DVD player-nya. Semuanya seakan baru saja terjadi kemarin, semua luka masih basah dan terbuka, hingga menunggu sampai pada saat semuanya kembali menutup dan mengering.

Diriku tinggal bersama kakak dan seorang pembantu rumah tangga di rumah besar ini. Rumah yang secara turun temurun diwariskan dari orang tua ayahku. Itulah kenapa, rumah ini masih terbuat dari kayu, tidak seperti rumah lain yang kokoh berdiri karena tembok dan beton. Meskipun terbuat dari kayu, rumah ini benar-benar terawat dengan baik. Dari luar sampai dalam terlihat elegan, seakan rumah ini baru saja dibangun kemarin.

Aku merapikan semua perlengkapanku, bersiap untuk pergi ke sekolah yang jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari rumah. Tiba-tiba, ponsel lipatku berdering dan di layar, tertera nama ibu di sana. Aku menekan salah satu tombol, lalu menempelkan alat komunikasi itu di telingaku.

"Halo, Ibu? Apa kabar? Apa Ibu baik-baik saja?"

"Halo Rifa, apa Ibu mengganggumu? Pasti kamu sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah." Suara ibu terdengar sangat jelas dari seberang sana.

"Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa saat ini Ibu tidak bisa mengirim uang tepat waktu. Apakah kalian bisa lebih berhemat, lagi? Maafkan Ibu sebelumnya." Nada bicara ibu berubah menjadi sedih.

"Tidak apa, Bu. Kami akan baik-baik saja," ucapku menenangkan.

"Syukurlah. Ah, ya. Bagaimana dengan Kakakmu? Apa dia sudah mau keluar kamar? Apa kamu bisa sedikit membujuknya untuk kembali bekerja?"

Permintaan ibu sedikit sulit dari biasanya. Untuk saat ini, aku tidak bisa mengatakan kalau kakak kemarin mengatakan sesuatu yang aneh tentang penyebab kematian ayah. "Iya, Kakak baik-baik saja. Aku akan coba bicara dengannya."

Ibu terdengar menghela napas berat. "Sebenarnya Ibu tidak ingin memaksa ia kembali bekerja setelah apa yang sudah terjadi. Tapi Ibu berharap, ia bisa menerima semua ini, keadaan sudah berbeda sekarang."

Setelah lama berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk menutup telepon karena harus segera berangkat ke sekolah. Aku berjalan, menuruni tangga dan terkejut ketika melihat pintu kamar kakak yang terbuka.

Aku sedikit menengok, tapi kakak tidak terlihat ada di sana. Ternyata, pria itu sedang duduk di meja makan, dan sepertinya telah menyelesaikan sarapannya. Pria berusia dua puluh satu tahun itu nampak mengikat rambutnya dan membawa tas gitar di punggungnya.

Diriku sedikit ragu untuk mendekatinya dan memutuskan untuk melihat apa yang sedang dilakukannya dari jauh. Tak lama, kakak membakar rokoknya, mengisapnya, mengembuskan lalu menatap ke suatu arah.

Aku berpikir, apakah kepergian ayah benar-benar membuat kakak terguncang? Tapi kurasa, itu bukanlah sesuatu yang aneh. Kakak begitu menyayangi ayah, namun membenci pekerjaannya yang merupakan seorang kepala kepolisian.

Setelah beberapa menit, kakak bangkit dari posisinya dan berjalan ke luar. Sepertinya ia akan mengunjungi suatu tempat, atau memulai lagi pekerjannya sebagai pelayan dan penyanyi di sebuah kafe. Tapi terkadang aku menemuinya sedang bernyanyi di pinggir jalan.

Merasa waktu sudah berlalu begitu lama, aku kemudian berlari dan bergegas menuju ke sekolah.

Tidak seperti kebanyakan orang, aku tidak memiliki banyak teman di sekolah. Hanya orang-orang tertentu yang mau berbicara dan berteman denganku. Entah apa yang telah aku perbuat, sehingga mereka menatapku dengan tatapan seakan-akan aku adalah seorang pencuri ulung.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang