19) Cekikan Memori

334 71 3
                                    

oOoOo

Jujur, aku masih tidak mengerti dengan pria yang satu ini. Ia begitu banyak memberiku pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan, usianya tidak selaras dengan porsi bicaranya. Aku kira, Joey adalah sesosok pria kalem dan sedikit bicara seperti orang dewasa lainnya.

Tidak, sepertinya keterlaluan jika aku berpikir seperti itu, karena memang semua orang memiliki kepribadian yang berbeda. Aku hanya terkejut, itu saja. Joey, pria yang sekarang masih duduk di hadapanku nampak bangkit dari posisinya hingga membuat kursi yang ia duduki sedikit bergeser dan mengeluarkan suara khas.

"Apakah kamu mau di sini sampai Kafe ini tutup?" Ia bertanya padaku, sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangannya di atas meja.

"Jika kau bersedia menceritakan semuanya, aku bersedia menunggu, sampai kapan pun," jawabku jelas. Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa aku menjawab seperti ini.

Pria itu nampak terkekeh. "Kau sama sekali tidak mirip dengan Rizwan. Baiklah kalau begitu, aku akan menyuruh Ardi membawakan lagi kamu makanan." Setelah mengatakan hal itu, pria itu berlalu.

Aku menatap kepergiannya. Lagi-lagi, ia mengatakan sesuatu yang aneh. Aku sama sekali tidak mirip dengan kakak? Memangnya apa yang akan katakan jika ia ada di posisiku saat ini?

Waktu terus berjalan, beberapa orang juga juga mulai meninggalkan. Sementara aku, masih terduduk diam dengan secangkir kopi yang Ardi suguhkan sendirian. Tak hanya itu, tugas para pekerja juga nampak sudah terselesaikan dan mulai merapikan barang-barang.

Aku masih di sini, menunggu sesuatu yang belum pasti. Haruskah aku mempercayainya? Karena selama ini kau selalu bersama kakak dalam setiap langkahnya. Dan sekarang, aku malah bertekad untuk bertanya karena rasa penasaranku sendiri.

Entah sudah ke berapa kalinya aku melirik jam tanganku. Sekarang, waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan kafe ini sudah benar-benar sepi sekarang. Hanya ada satu cahaya lampu terang yang berada dekat mejaku yang masih memberikan penerangan.

Apakah aku sudah dibodohi? Aku sama sekali tidak melihat para pekerja pulang. Apakah mereka pulang lewat pintu belakang? Lagi-lagi, aku merasa pernah berada dalam situasi seperti ini. Situasi di mana di sekelilingku hanya ada kegelapan.

Tiba-tiba, jantungku berdebar kencang dan tanganku sedikit bergetar. Kenapa aku tidak menyadari kalau aku sudah sendirian dan lampu-lampu sudah dimatikan? Aku bangkit dari posisiku dengan tergesa, sehingga menumpahkan kopi yang ada di atas meja.

Seketika, terdengar suara seseorang melangkah. Suaranya yang pelan kian terdengar lebih kencang, seakan sesuatu itu tengah berjalan ke arahku dengan perlahan. Aku panik dan memerhatikan di sekelilingku yang bahkan sudah gelap gulita.

Suara langkah kaki itu terdengar mulai mengelilingiku. Sontak, aku juga mencoba memutarkan tubuhku sejalan dengan suara langkah kaki itu. Aku takut, semuanya seakan hilang ditelan kegelapan.

Namun, suara langkah kaki itu seketika lenyap dari pendengaran. Dan saat itulah, ketakutan sesungguhnya telah muncul, yaitu kesunyian. Deru napasku memburu, keringat dingin mulai mengalir dari pelipis hingga membasahi rambut. Dari dalan kegelapan, aku melihat sebuah tangan berwarna pucat pasi yang nampak ingin meraih tubuhku. Sontak aku terkejut, melangkah mundur dan membuat meja makan itu terjatuh.

"Tidak, tidak, tidak! Menjauh dariku!" Aku berteriak sekeras mungkin, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dari ketakutan ini. Tangan itu semakin mendekat dan menyentuh leherku. Apakah aku akan mati sekarang.

"Lucy."

"Rifa!"

Rasanya, aku telah ditarik dengan paksa dari alam lain. Aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dan akhirnya berhasil membuka mataku, keluar dari mimpi yang bisa dikatakan seperti sebuah memori yang sengaja di hilangkan.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang