6) Kematian Dokter David

494 98 9
                                    

oOoOo

06 Mei

Dokter David, itu yang biasa aku panggil saat bertemu pria dengan jas berwarna putih panjangnya. Perawakannya tinggi, dengan berat badan yang berlebih. Ciri khas darinya adalah ketika tersenyum, garis mata di sampingnya akan terlihat dengan jelas, berbicara ramah kepada semua orang, termasuk pasiennya. Senyumannya terkadang membuat matanya sendiri menutup, dengan deretan gigi putihnya yang tidaklah rapi.

Aku selalu ingin mengunjunginya, ia selalu memberi tahu sesuatu apa yang tidak aku ketahui. Dalam sebulan, setidaknya aku bisa menemuinya sebanyak dua kali bersama ayah dan ibu. Dokter David adalah dokter kepercayaan ayah. Ayah yang merupakan seorang polisi sangat memerhatikan kesehatan matanya, ia mempercayakan indra penglihatannya itu padanya seorang.

Dalam beberapa kali kesempatan, aku mengunjungi Dokter David bersama ayah. Kami mencoba mengunjunginya saat pasien terakhir selesai, agar kami bisa mengobrol dengan santai.

Saat pemakaman ayah pun, pria dengan sedikit uban itu memeluk kami. Ia menangis di balik kacamata miliknya. Meski pun ia adalah seorang ahli mata, tapi kacamata bulat itu sudah menjadi ciri khas lain darinya. Aku masih bisa merasakan kehangatan pelukan pria yang sudah memiliki keluarganya sendiri itu. Ia benar-benar menyayangi kami, terkadang ia memanggil kami dengan sebutan "Nak."

Dan sekarang, pria itu sudah berbaring di dalam peti mati. Bagian kepalanya ditutupi kain, karena benar-benar hancur akibat hantaman yang keras. Ia jatuh dari lantai tujuh, hingga ubun-ubunnya sudah tidak bertulang lagi. Tulang-tulangnya patah secara bersamaan. Mungkin suara khas tulang patah bisa saja terdengar jika ada yang tidak sengaja melihatnya.

Aku tidak tega jika harus melihat kondisinya. Meski pun ini adalah pertemuan terakhir, aku tidak yakin ini akan berakhir dengan cepat. Dengan foto dan bunga yang aku genggam, aku tidak henti-hentinya menangis.

Begitupun dengan kakak. Dengan pakaian berwarna hitam, pria itu hanya melamun setelah melihat jasad dokter kami. Kemarin saat mengetahui siapa korban bunuh diri itu, ia langsung terdiam dan tidak melanjutkan niatnya.

"Ia dibunuh," gumam kakak, menatap orang-orang yang membantu memasukan peti mati itu ke dalam liang lahat.

Aku yang berdiri di sampingnya, merasa kesal dengan apa yang ia katakan disaat-saat seperti ini. "Apa maksud Kakak mengatakan hal itu!" Aku sedikit menyentak, namun karena suasana yang ramai, membuat suaraku seakan tenggelam begitu saja.

Tangan kakak terlihat mengepal. Aku yakin, kakak ingin menangis saat ini juga. Tapi aku tahu, kakak tidak akan bisa meluapkan emosinya di hadapanku, ia seperti sebuah tirai yang menutupi sinar dari balik jendela.

Dengan cepat, ia menarik tangan dan membawaku pergi menjauh dari kerumunan. "Ini semua berhubungan." Kakak berbisik padaku, tatapannya benar-benar menusuk.

"Jangan mengatakan hal konyol seperti itu disaat seperti ini! Kita sedang berduka, gunakan hatimu!" Aku menekankan semua perkataanku sambil menunjuk ke dadanya.

Pria itu kekeuh, kemudian menarik tanganku kembali agar lebih dekat dengannya. "Aku tidak akan membuat orang lain menjadi korbannya, lagi." Bisiknya dengan penuh penekanan juga. Aku menarik tanganku agar terlepas darinya. Tatapannya benar-benar membuatku takut. Dengan perasaan sedih, aku berjalan menjauh darinya.

Sesampainya di rumah, kami segera mengganti pakaian. Pertengkaran kecilku dengan kakak berakhir menjadi saling diam. Kami tidak berbicara selama perjalanan pulang, bahkan sampai di rumah, kami tidak saling memandang.

Pria itu nampak sibuk dengan gitar miliknya, sesekali senarnya ia petik, sesekali bersenandung kecil. Entah apa yang dipikirkan kakak sekarang ini. Karena merasa penasaran, aku menghampirinya, yang sedang duduk di teras rumah, dengan sebelah kaki yang diangkat untuk menopang gitar miliknya.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang