35) Skenario yang Terbaca

266 58 1
                                    

oOoOo

06 Juli, 05.30 pm

Setelah Rifa pergi meninggalkan kafe, si pak guru, Yuki Haru lebih memilih untuk menetap sedikit lebih lama di sana. Pria itu memerhatikan amplop yang bahkan tidak diambil oleh si pemilik. Rifa meninggalkan amplop beserta isinya itu di atas meja.

"Lucy, siapa sebenarnya dia? Kenapa ia memberikan ini pada Rifa?" Yuki bertanya pada dirinya sendiri. Tanpa ia sadari, Rizwan yang datang untuk membersihkan meja memerhatikannya.

"Kenapa kau harus tahu?" sosor pria itu sambil mengambil piring dan gelas kotor.

"Tidak, aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi padanya," jawab Yuki tanpa menatap wajah Rizwan.

Si pelayan mengangkat satu alisnya. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan Rifa, kau harusnya khawatir pada dirimu sendiri." Ekspresi Yuki menandakan kalau ia tidak mengerti. "Iya, kau saat ini jadi target selanjutnya, Haru." lanjut Rizwan dengan santai.

Yuki terkekeh. "Aku tahu kau itu aneh dan menyebalkan. Tapi lelucon seperti ini tidaklah lucu. Dan berhentilah memanggilku Haru." Pria itu meremehkan perkataan Rizwan dan malah meneguk kopi hitam miliknya.

"Apa salahnya aku memanggilmu dengan nama depanmu? Tidak ada peraturan yang melarangnya," ujar Rizwan, "aku tahu kalau aku memang aneh dan menyebalkan, tapi apa yang aku katakan ini adalah kebenaran. Aku tidak peduli kau mau mempercayainya atau tidak." Setelah membersihkan meja itu, Rizwan berjalan pergi.

"Tunggu dulu, kenapa kau begitu yakin?" Pertanyaan Yuki membuat Rizwan menghentikan langkahnya.

Rizwan menoleh ke belakang. "Tujuh. Tujuh adalah angka yang sempurna. Besok, tanggal tujuh bulan tujuh, waktu yang sempurna untuk memberikan bumi permata merah yang indah oleh sang langit," sahut Rizwan.

"Sebelum kau melanjutkan pekerjaanmu itu, sebaiknya kau duduk dan jelaskan semuanya," perintah Yuki penuh penekanan. Rizwan hanya menurut dan duduk di depannya. "Kenapa aku?" tanya Yuki dengan nada resah.

Rizwan tersenyum. "Apa kau tidak sadar kalau si pembunuh yang menaruh surat itu di dalam tasmu?"

"Apa?!"

"Ia menginginkan Lucy, ia menginginkan Rifa."

Yuki menutup mulutnya tidak percaya. Kemudian, ia melemparkan begitu banyak pertanyaan kepada Rizwan yang hanya direspon dengan keheningan. Lelah pertanyaannya tidak dijawab, Yuki hanya bisa diam menatap Rizwan yang sedari tadi membisu dan menundukkan kepala.

"Ikuti saranku, dan kau akan masih bisa bernapas hari lusa nanti."

Setelah puas mendengar ucapan Rizwan di sana, Yuki mulai meninggalkan tempat itu dengan perasaan cemas yang menghantuinya. Bukan hanya dia seorang, pria aneh itu mengajak Joey, Ardi dan juga Lolita untuk berdiskusi mengenai apa yang harus mereka lakukan agar Yuki tetap hidup.

Rasanya memang menyeramkan ketika kita berbicara mengenai apa yang harus kita lakukan, agar terhindar dari kematian yang telah ditentukan oleh seseorang, bukan Tuhan. Pria itu berjalan menyusuri trotoar jalan sambil sesekali mengisap rokoknya.

Pandangan pria berkacamata itu tertuju pada seorang gadis yang tengah berdiri di sisi trotoar di seberangnya. Sebenarnya bukan anak kecil itu yang menarik perhatiannya, tapi seorang pria yang tengah bertolak pinggang pada gadis kecil itu. Yuki memandanginya dari kejauhan. Ia tidak ingin salah paham tapi ia juga harus waspada. Tak lama, pria itu pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Untuk memastikan, Yuki menyebrang jalan untuk menghampiri gadis itu.

"Selamat malam, Dek," sapa Yuki dengan senyuman.

"Ah, selamat malam juga, Kak." Gadis dengan pakaian lusuh itu tersenyum. Ia nampak memegangi sebuah amplop.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang