40) Gadis yang Mulai Meninggalkan Kamar

318 60 10
                                    

oOoOo

Suasana menjadi hening ketika suara tembakan itu memudar. Tanganku mati rasa, sehingga membuat benda yang aku pegang terjatuh dengan sendirinya. Tatapanku tak lepas dari seorang manusia dengan darah yang menodai baju putih bersihnya. Aku berjalan dengan kedua lututku perlahan menuju ke arahnya.

Bola mataku melebar dengan pupil yang mengecil. Entah kenapa, semua kesadaranku seperti direnggut oleh sesuatu beberapa saat yang lalu. Kemudian, aku bisa melihat wajahnya. Cahaya di matanya memudar, ia menatapku dengan senyuman di wajahnya.

Napasnya semakin pendek, ia sepertinya ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku membenci ekspresinya yang nampak bahagia saat menatapku, malaikat kematiannya. Aku menunduk, membuat rambutku menyentuh sebagian wajahnya.

"Apa ... yang kau rasakan?" tanya kak Jean dengan suara serak. 

"Aku bahkan tidak tahu, kenapa aku melakukan ini," jawabku jujur.

Ia terkekeh dan hal itu membuat luka di bagian perutnya semakin mengeluarkan banyak darah. "Tak apa, aku juga sering merasakan hal itu. Kau begitu cantik, matamu ... mirip dengan seorang wanita yang aku sebut sebagai ibu," lanjutnya, "tapi ... aku membenci wajah ini. Aku ... ingin menghilangkannya, penderitaan ini ... beban ini ... denganmu .... bersamamu ... menghilang ... dari dunia ini.

"Apa ... kau bahagia saat menjadi Rifa, Lucy?" Entah kenapa, pertanyaan itu langsung menyentuh hatiku. Air mataku keluar hingga menetes dan jatuh ke pipinya. Tangan besar itu bergerak, dengan gemetar, ia menyentuh pipiku. "Aku telah membunuh Lucy ... aku akan membawanya pergi ... bersamaku. Hiduplah ... sesuai dengan keinginanmu, Rifa.

"A-aku ... menyayangi dan ... membencimu, Rifa."

Matanya tidak menutup, ia masih menatapku kosong dengan tangan yang sudah ia lepaskan dari pipi tirusku. Tidak ada udara yang keluar dari hidung atau pun mulutnya, ia sudah tidak bernapas lagi. Aku, menatap kedua telapak tanganku yang terdapat darah kak Jean di sana.

Dengan tangan ini, aku menghabisi seseorang yang telah merenggut nyawa orang lain karena diriku. Aku adalah pendosa besar yang bahkan Tuhan sendiri sulit untuk memaafkannya. Akhirnya, aku berteriak, mengeluarkan segala kehampaan dan rasa sakit yang selama ini aku tahan. Rasanya sesak dan menyakitkan. Tenggorokanku terasa kering, aku butuh air. Seseorang, tolong, hentikan teriakanku ini. Ini melelahkan. 

Aku seorang pembunuh, aku membunuh kakak kandungku sendiri. Aku membunuh seseorang yang rela menjadi seorang pembunuh demi diriku. Tolong, hentikan. Ini menyakitkan. Bagaimana tatapan kak Joey, Lolita, Ardi, Devi, dan pak Yuki padaku nanti? Aku sama sekali tidak bisa membayangkan sebesar apa kebencian mereka terhadapku nanti. 

Karena aku, orang-orang terdekat mereka meninggal dunia. Entah kenapa, aku merasa sesak dan berat. Seseorang meremas tanganku. Tidak, ia juga menarik kepalaku untuk ia sandarkan di bahu yang keras. Apa yang terjadi? Kenapa suaraku tiba-tiba memudar dan hilang? 

"Selamat kembali, Rifa," bisik pria yang memelukku erat. "Maafkan aku."

Ah, ternyata kak Rizwan. Aku baru pertama kali melihat reaksinya yang seperti ini. Ia menangis di belakang rambutku. Iya, aku bisa merasakannya, sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku tidak tahu apa yang ia tangisi saat ini. Perlahan, tanganku bergerak lalu membalas pelukannya. Ia begitu hangat dan menenangkan. 

Tak lama, seorang Polisi datang dengan beberapa orang. Di sana, terlihat Toby, pak guru Yuki dan juga Joey. Aku tidak terkejut ketika melihat bagaimana ekspresi wajah mereka saat menatapku yang penuh dosa ini. Dengan langkah tegas, Toby menatapku dengan tatapan matanya yang tajam namun tersirat kesedihan. 

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang