34) Gedung Sekolah

233 60 4
                                    

oOoOo

Setelah memakan waktu hampir sepuluh menit, aku sampai di sekolah dengan keadaan tidak karuan. Aku mencoba untuk mengatur napasku yang memburu. Keringat ini membasahi pelipis hingga pipi, tapi make-up-ku masih belum luntur karenanya.

Suasana sekolah begitu sepi, mungkin karena semua orang sekarang berada di gedung acara. Tapi kenapa pak Yuki memberikan sinyal kalau ia ada di sini? Apa yang terjadi padanya? Untuk memastikan, aku harus masuk dan mencarinya sendiri.

Aku membuka high heels-ku lalu meletakkannya, sungguh, alas kaki itu membuatku tidak nyaman dan sulit untuk berjalan. Aku berjalan sepanjang koridor sekolah yang begitu sepi. Meski pun ini di siang hari, tapi entah kenapa suasananya lebih dingin dan mencekam dari biasanya.

Aku menaiki tangga di lantai dua lalu menuju ruang guru kemudian menarik kenop pintu yang ternyata tidak di kunci. Seperti yang sudah aku duga, tidak ada siapa pun di sini kecuali tumpukan buku dan berkas. Aku berjalan ke arah meja pak Yuki berada, aku harap, bisa menemukan sesuatu di sana.

Tentu saja, aku tidak henti-hentinya untuk menghubungi pak Yuki. Apakah aku salah paham dan ia baik-baik saja? Aku harap juga seperti itu. Namun, sesuatu yang tertulis di buku absen yang terbuka di depan mataku membuat diriku meragukannya.

Dalam absen kelas itu, namaku, Rifa Headler dicoret oleh tinta berwarna merah dan diganti dengan Lucy. "Siapa yang melakukan ini?" Saat itulah aku yakin, kalau pak guru berada dalam bahaya. Aku mengambil ponselku lalu kembali mencoba untuk menghubungi kakak yang bahkan tidak bersama ibu saat ini.

"Sial!" umpatku ketika tidak ada jawaban darinya. Tidak berhenti sampai di situ, aku memeriksa seluruh ruangan kelas di lantai dua ini.

Setelah semuanya dirasa tidak ada yang mencurigakan, aku menaiki tangga menuju lantai tiga. Napasku mulai habis, ditambah dengan rok panjang yang membuatku susah bergerak, semakin memperparah kondisiku saat ini. Jantungku berdebar kencang, seakan memberi sinyal kalau ini adalah sebuah peringatan.

Setelah memeriksa seluruh ruangan di lantai tiga, aku merasa ada sesuatu yang ganjal. Ketenangan ini membuatku takut. Aku memasuki toilet untuk merapikan diriku. Kulihat pantulan wajah seorang gadis di sana. Begitu berantakan dengan make-up yang pudar dan rambut sanggulnya yang sudah berantakan.

Saat membasuh wajahku di wastafel, tanpa sengaja, dari pantulan cermin aku melihat sebuah kertas menempel di balik pintu toilet. Seketika aku berbalik lalu melihatnya.

"Tujuh adalah angka yang sempurna, dan dia yang akan menyempurnakannya. Langit yang tinggi, menghujani permata merah pada bumi. Masa lalu akan kembali, dan masa kini akan menjadi ilusi." Begitulah yang tertulis di sana.

"Tujuh adalah angka yang sempurna ...." Aku mencoba berpikir, apa yang ia maksud. Kenapa ia menyebutkan angka tujuh? "George, Graham, Wagi, Ayah, Dokter David, Mr. Lorad ...." Seketika, jantungku rasanya berhenti berdetak. "Pak Yuki ... tujuh ... Pak Yuki akan dijadikan korban ketujuh." Seluruh tubuhku bergetar dan lemas seketika.

"Langit ... tinggi, atas. Bumi ... rendah, turun, jatuh. Permata merah ... darah." Sontak, aku berlari menuju atap sekolah setelah mengetahui apa maksudnya. Pikiranku rasanya menjadi kosong. Pak Yuki ... ia akan dijadikan korban ketujuh pada kasus pembunuhan berantai ini.

Saat sampai di depan pintu menuju ke atap, aku mengintip pada lubang kunci pintu itu. Rasanya aku ingin membekap mulutku sendiri karena napasku yang menderu cepat. Aku melihat sesuatu dari lubang kunci itu. Seseorang ... tidak, ada dua orang di sana.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang