30) Perjalanan

307 68 0
                                    

oOoOo

02 Juli

Stasiun kereta hari ini begitu ramai karena sudah masuk akhir pekan. Dengan sebuah tas gendong yang kecil, aku mulai memesan tiket menuju kota sebelah. Tekadku untuk mengunjungi Rumah Sakit itu membawaku ke mari pagi ini. Aku mencari informasi mengenai rumah sakit itu dan ternyata lokasinya berada di kota sebelah.

Aku hanya perlu naik kereta hingga sampai ke stasiun berikutnya. Setelah itu mungkin aku harus menaiki taksi agar bisa sampai ke lokasi. Tempatnya tidak berada di sisi jalan kota, jadi aku harus berjalan lebih dalam lagi. Rumah sakit itu berada di pelosok, jadi mungkin nanti aku harus berjalan agar bisa sampai ke sana.

Setelah mendapatkan tiket, aku menunggu sekitar sepuluh menit dan akhirnya, kereta yang akan mengantarku berhenti tepat di hadapanku. Aku berjalan kemudian memilih menduduki kursi pertama yang aku lihat. Kereta kelas ekonomi memang seperti ini, apa adanya. Aku tidak memiliki uang yang banyak untuk memilih kelas yang lebih tinggi. Lagipula, menurutku itu tidaklah terlalu penting.

Aku duduk dan mencoba membuat diriku nyaman di sini. Sambil memandangi riuhnya stasiun pagi ini di luar jendela, aku memikirkan perasaan bersalahku karena sudah membohongi ibu pagi ini.

Ya, aku berbohong pada ibu kalau aku akan berkunjung ke sebuah museum bersama Devi hari ini di kota sebelah. Maka dari itu, aku harus pergi pagi-pagi sekali. Dan pada kenyataannya, aku sekarang berada di sini dengan tujuan yang berbeda. Aku takut kalau kebohongan ini akan berdampak buruk pada perjalananku, aku harap, Tuhan mau memaafkan aku.

Kakak nampak baik-baik saja setelah kejadian dua hari yang lalu. Hari sebelumnya, ia tidak nampak keluar dari kamar seharian. Meski pun begitu, ia mau memakan makanan yang ibu bawakan ke kamarnya. Joey juga sering meneleponku untuk memastikan kapan kakak akan bekerja lagi. Kakak memang selalu mengabaikan pekerjaannya, aku bersyukur karena Joey yang menjadi bosnya.

Pria itu tidak mengatakan apa pun soal ke mana ia pergi. Kecurigaanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku mengintip pembicaraan mereka, saat ibu membawa makan malam pada kakak. Meski pun tidak menyebutkan ke mana kakak pergi, ibu seakan sudah tahu semuanya.

Pertanyaannya, kenapa mereka seakan menyembunyikannya dariku?
Aku begitu penasaran ke mana pria itu pergi, tempat dan orang seperti apa yang ia temui sampai-sampai pulang dengan kondisi seperti itu. Apakah kakak menanggung sesuatu yang begitu besar, sampai-sampai ia harus melupakannya meski pun hanya sekejap saja?

Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya kereta mulai berjalan. Tanpa aku sadari, kursi di sebelahku sudah terisi oleh seorang perempuan seusiaku. Kami saling menatap dan tersenyum, kemudian sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku memang orang yang payah dalam hal seperti ini.

Setelah kondektur memeriksa tiketku, tiba-tiba rasa kantuk menguasai diriku. Mungkin karena aku bangun terlalu awal. Tanpa aku sadari, selama perjalanan ini, aku terlelap dalam mimpi di pagi hari.

"Bangun, Kak." Aku merasakan ada seseorang yang menyentuh bahuku. Meski pun ia tidak memanggil namaku, aku merasa kalau orang itu memanggilku. "Bangun, Kak. Kita sudah sampai." Dengan berat, aku beranjak dari posisi tidurku yang tidak nyaman.

Perempuan itu menatapku. Sepertinya, ia yang telah membangunkanku. "Iya, Kak. Terima kasih," ucapku padanya. Perempuan itu tersenyum kemudian pergi keluar. Sebelum menyusulnya, aku melakukan sedikit peregangan pada otot-ototku yang terasa kaku. Setelah membereskan semuanya, aku berjalan menuju keluar kereta.

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang