33) Amplop Merah Muda

260 50 4
                                    

oOoOo

06 Juli

Entah apa yang ingin dibicarakan pak guru sampai ia mentraktirku makan di Kafe Joey. Meski pun ia mengatakan ingin berbicara sesuatu yang penting berdua saja, aku rasa ini bukanlah tempat yang tepat. Sebentar, apa aku telah berprasangka yang lain-lain?

Setelah pulang sekolah, aku langsung berganti pakaian dan menuju ke Kafe. Aku tidak bermaksud untuk berpenampilan rapi, hanya saja, jika ada seseorang yang melihatku makan berdua dengan seorang guru, terlebih lagi menggunakan seragam, aku takut terjadi kesalahpahaman.

Sudah sekitar sepuluh menit, aku duduk sendirian di sini. Tentu saja, kakak dan rekan-rekannya menanyakan keberadaanku di sana. Apa yang bisa aku katakan selain kejujuran? Ekspresi kakak saat mendengarnya sangatlah datar, seakan ia tidak peduli, menyebalkan.

Dari arah pintu, seorang dengan kemeja putih datang lalu duduk di hadapanku dengan kancing bagian atas yang terbuka. Itu adalah pak Yuki. Ia nampak begitu kelelahan, tentu saja, karena saat ini sekolah sedang masuk fase sibuk. Tapi, kenapa ia malah mengajakku makan disaat-saat seperti ini?

"Selamat sore, Pak."

"Sore, Rifa. Maafkan saya, saya terlambat," senyum samar pria itu.

"Bapak sama sekali tidak perlu meminta maaf." Tak lama, kak Lolita lalu menuliskan pesanan kami lalu kembali pergi. Keheningan terjadi dalam beberapa saat.

"Te-terima kasih, karena Bapak sudah mengajakku makan di sini," ucapku memecah keheningan.

"Tidak masalah, sebenarnya ... ada sesuatu yang harus saya berikan." Pak Yuki nampak merogoh kantong celana hitamnya dan terlihatlah sebuah amplop berwarna merah muda yang cantik. "Ini." Seketika, ia memberikannya padaku.

Aku menerimanya. "Apa ini, Pak?" Jujur, aku telah berpikir yang bukan-bukan dengan apa yang diberikan oleh Pak Yuki. Tapi sungguh! Aku tidak bermaksud berpikiran seperti itu.

"Sebenarnya, saya menemukan surat itu di dalam tas milik saya."

"Itu berarti seharusnya ini untuk Bapak, kan?"

Ia menggeleng sambil tersenyum. "Sayangnya bukan. Kamu bisa melihat untuk siapa surat itu dituju. Saya tidak tahu kenapa ia malah memasukkannya ke dalam tas saya. Syukurlah tidak ada yang tahu." Pak Yuki tertawa sambil menutup mulutnya. "Tenang saja, saya tidak membaca isinya."

Karena penasaran, aku langsung saja menyobek amplop itu lalu mengambil selembar lipatan kertas yang ada di dalamnya. Aku tidak tahu apa maksud si pengirim memasukkan surat ini ke dalam tas pak Yuki. Kenapa ia tidak langsung memberikannya padaku? Jika ini adalah surat pernyataan cinta?

"Aku akan menjemputmu sebentar lagi, Lucy."

Sebuah kalimat yang tertulis dengan tinta berwarna biru itu membuat tanganku bergetar hebat. Kalimat ini adalah kalimat yang sama seperti  diucapkan oleh pria misterius yang mengajakku berdansa waktu itu, napasku seketika menjadi berat dan dadaku terasa sesak. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini.

"Rifa, apa kamu baik-baik saja?!" Melihat reaksiku, Pak Guru nampak panik. Meski pun satu lembar kertas ini begitu ringan, tapi karena getaran tangan ini, berhasil membuatnya terjatuh tanpa aku sadari.

Suara pak guru seakan lenyap dari pendengaranku. Tanganku bergerak sendiri lalu perlahan menopang kepala ini di atas meja. "Siapa dia ... SIAPA?!!!" Tanpa aku sadari, teriakanku begitu kuat sehingga membuat beberapa orang melirik ke arah kami.

Siapa dia? Kenapa ia meletakkan surat itu pada tas pak Yuki? Apakah mungkin ... ia mengincar pak Yuki? Tapi kenapa ia tahu di mana aku bersekolah bahkan mengetahui yang mana tas milik pak guru? Sejauh mana ... sejauh mana .... sejauh mana ia mengenal diriku?

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang