3) Teori Kakak

635 136 18
                                    

oOoOo

"Ada apa?" Tiba-tiba, aku tersentak ketika mendengar suara kakak dari belakang. Tanpa aku sadari, kakak sudah bersandar di dekat pintu, dengan tangan yang dilipatkan di depan dada bidangnya. Hanya dengan sehelai handuk yang ia kenakan di perutnya, pria itu menatapku dengan heran.

"Kakak?"

Pria itu mendekatiku. "Ada apa? Apa kau ada perlu?" Kakak bertanya dengan santai.

"Ti-tidak juga ...," jawabku gugup.

Kakak berjalan melewatiku, kemudian membuka lemarinya. Ia seperti tidak menghiraukan kehadiranku. "Ini masih terlalu pagi, kembalilah tidur. Apa kau bermimpi buruk? Sebaiknya baca doa dulu sebelum tidur."

Aku sedikit bingung. Apa kakak tidak marah ketika aku memasuki kamarnya yang berantakan ini? Apa kakak tidak mau menjelaskan sesuatu atau berbohong padaku yang sudah melihat semua ini? Aku terdiam melihat kakak yang masih mencari sesuatu di lemarinya. Ia kembali melirik ke arahku.

"Ada apa?"

"Aku ... tidak paham." Aku meremas celanaku. "Aku tidak paham, apa semua ini? Apa yang sedang Kakak lakukan? Kenapa Kakak mengatakan hal aneh padaku waktu itu?" Tanpa sadar, semua pertanyaan itu keluar dari mulutku.

Kakak terkesiap, ekspresinya berubah menjadi terkejut. Matanya nampak melebar dan mulutnya sedikit terbuka. Namun dalam sekejap, ekspresinya kembali datar. "Jangan terlibat terlalu jauh. Anggap saja kalau kau tidak pernah melihat semua ini." Kakak benar-benar tidak serius menanggapi pertanyaanku.

Dengan kesal, aku menarik tangan besar kakak lalu meremasnya kuat, sampai-sampai kuku jariku menancap di kulitnya. Ia mengaduh dan menarik tangannya. "Hei, apa yang kau lakukan?!" Ia sedikit meninggikan suaranya.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu. Apa yang sedang Kakak lakukan?!" Aku berteriak, tidak peduli para tetangga akan terbangun karena suara nyaringku. "Kakak menjadi pendiam dan menutup diri. Tidak pernah meninggalkan kamar selama ini. Tapi tiba-tiba, Kakak pulang pergi tanpa mengatakan apa pun padaku," ucapku kesal.

Aku sama sekali tidak mengerti. Sebelum kematian ayah, kakak adalah sosok yang ramah dan perhatian, ia juga sering menjahiliku juga membuat lelucon yang tidak pernah bisa membuatku tertawa. Tapi sekarang, aku rasa ia bukanlah kakakku lagi. Ia bukan Rizwan Headler yang aku kenal. Mungkin, kakakku sudah lama pergi, bersama ayah.

"Apa-apaan semua ini? Jawab aku, Kak!" Lagi, aku meninggikan suaraku. Mencoba membangunkan kakak dari lamunannya. Ia bergeming, seakan tidak mendengar suara kerasku.

Kakak menghela napas. "Mungkin memang seharusnya aku tidak mengatakan hal itu padamu." Ia duduk di atas kasur, menepuk-nepuk pinggirannya seakan mengajakku untuk duduk di sampingnya. Karena masih kesal padanya, aku menolaknya tegas.

Kakak nampak tersenyum kecil. "Sebenarnya, aku tidak ingin membuatmu terlibat dalam hal ini. Tapi sepertinya, rasa penasaranmu itu telah mendobrak rasa takutmu sendiri." Kakak bangkit dari posisinya, menjambak salah satu foto yang tertempel di dinding. "Seperti yang sudah aku katakan, Ayah telah dibunuh seseorang."

"Dengan alasan apa Kakak mengatakan hal itu? Itu tidak masuk akal." Aku memotong dengan cepat.

Ia menatapku. "Tidak masuk akal? Apanya yang tidak masuk akal?" Kakak menarik alisnya. "Justru, ketika mereka mengatakan Ayah telah melakukan tindakan bunuh diri itulah, yang tidak masuk akal."

Bayangan Putih [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang