Bab 2 : Keputusan

398 37 61
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Menyeka keringatnya yang mengucur, Taufan menghempaskan dirinya di atas kursi taman yang berada di halaman belakang sekolah.

Istirahat sejenak setelah ia melakukan ritual pagi di senin hari, upacara.

Hari ini memang cuaca sedang panas, namun angin semilir yang berada di sekitar Taufan terasa dingin di kulitnya. Seakan tak ingin membiarkan anak itu kepanasan.

Merasakan sesuatu yang lebih dingin di pipi kanannya, Taufan refleks tersentak kaget hingga menjauhkan diri dari benda yang menempel di pipinya itu. Sebuah botol air minum dingin.

"Lo gak masuk ke kelas?" tanya Zhao begitu Taufan menerima pemberiannya.

Membuka segel botol tersebut dan meminum seteguk air, Taufan membalas. "Lo sendiri?" tanya Taufan balik.

Zhao terdiam sejenak. "Nanti, yang lain juga masih pada di kantin," jawab Zhao.

"Ya sama," timpal Taufan kembali menghisap air botolnya.

Melirik sahabatnya sejenak, Zhao membuka segel kaleng soda nya. "Mana kakakmu?" tanya Zhao, meredakan hausnya dengan soda yang ia beli.

Taufan terdiam sejenak, kemudian ia menyeringai. "Kenapa memangnya? Lo nge-fans dia juga? Cieee"

"Amit-amit anjir, gue lebih ganteng daripada kakak lo, ya. Udah jawab aja dia di mana, kenapa gak sama lo juga tadi pagi?" lagi-lagi Zhao bertanya.

Terlihat jelas jika ekspresi Taufan berubah menjadi sendu. "Tadi pagi dia pamit buat berangkat cepat."

"Untuk?"

"Dia mau ikut Olimpiade nanti."

"Dispensasi?" tebak Zhao.

"Haha, iya. Dia gak ada di sekolah," jawab Taufan memainkan botol air yang sudah habis.

Zhao tidak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Halilintar? Iya, tahu. Hilal seperti ini untuk memenuhi kebutuhan mereka, tapi apa yang Hilal lakukan tanpa sadar membuat Taufan terasingkan.

Sekilas ia menatap Taufan yang fokus memainkan botol minumannya dengan seulas senyum. Entah apa yang ada dalam pikiran Taufan. Mengapa Taufan bisa tegar seperti itu? Padahal ia tahu, Taufan membutuhkan kasih sayang seorang kakak.

***

"Hilal, lo ada di sini juga?" Theo, teman dekat Hilal pun bertanya.

"Ya."

Menjawab singkat, Hilal kembali membalikkan halaman bukunya dengan cepat. Jangan tanya, kapasitas otaknya bisa menangkap hanya dengan sekali melihat tulisan-tulisan yang begitu rumit di dalamnya.

Menarik kursi yang berada di dekat Hilal, Theo duduk di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa ia jadi teringat dengan ajakan Zhao dan Taufan kemarin.

"Kapan di mulainya?" tanya Theo. Berusaha mencari topik di antara mereka.

"Tiga puluh menit lagi." Ia kembali membalikkan halaman bukunya, nampak tak niat menatap Theo.

Theo terdiam, Hilal juga terdiam.

Sebenarnya ada yang Theo ingin sampaikan pada anak bernetra coklat ini, namun ia tak mau to the point membicarakan hal itu. Basa-basi dulu tak masalah, kan?

Mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya, Theo menutupi tulisan buku Hilal dengan kertas itu. Sebuah sponsor lomba skateboard.

Siapa lagi yang terlintas di benak Hilal kecuali Taufan saat ini? Mengingat adiknya itu benar-benar menempel pada hobinya yang bermain skateboard itu.

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang