Bab 7 : Meraih juara

175 27 4
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Hilal kembali melawan Amir. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang dan memeluk Taufan. Sesak di dadanya kembali terasa.

"Fan, semoga lo baik-baik aja..."

Hilal menangkis dan menyerang terus seperti itu hingga pertandingannya bersama anak bernama Amir itu selesai.

Sepanjang waktu, di setiap panggung arena, Hilal selalu berkalut dengan pikirannya sendiri. Membayangkan yang tidak-tidak pasal Taufan.

Dan lagi, anak itu masih belum mengaktifkan ponselnya sedari tadi, bahkan sampai ia mencapai puncak final pun ia sama sekali tidak membaca pesan Hilal.

Kian waktu, raut wajah Hilal semakin khawatir. Terus menopang dagunya sembari menatap centang satu pada chat Taufan.

Hari sudah hampir usai dan dia belum membalas chatnya sama sekali? Taufan itu tergolong orang yang fast respon dalam hal seperti ini, kecuali jika ia sedang sibuk, itu pun memberitahu dulu keadaannya sibuk atau tidak.

Namun ini sama sekali tidak benar. Tidak online hampir seharian hingga Hilal mencapai puncak final, bukankah itu tidak wajar?

Ayolah, setidaknya satu kata saja untuk menenangkan hati Hilal.

"Hilal, naik ke arena, sekarang," pinta Hamza ketika ia mendekati Hilal. Nama sang ahli bela diri sudah di panggil sejak dari tadi, namun Hilal malah sibuk memainkan ponselnya.

"Nak Hilal."

Tersentak dengan Pak Hamza yang menepuk pundaknya, Hilal memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dan mulai memasuki arena lagi. Detik-detik semifinal membuat Hilal semakin tidak sabar untuk pulang.

"Nak, kau baik-baik saja?" tanya Pak Hamza.

"Ya."

Seperti biasa, Hilal dan Amir memberikan penghormatan sebelum pertandingan dimulai. Kemudian, mereka memasang kuda-kuda dan mulai saling menyerang.

Deru napas yang semakin tak beraturan ketika pertandingan sedang berjalan, dan rasa khawatir yang menggelora di dadanya, membuat Hilal semakin tidak fokus dalam bertanding.

"Bawakan piala buat Angin!"

Namun kata-kata itulah yang berdengung di telinganya. Sempat beberapa kali ditumbangkan, namun Hilal tetap berjuang dan berusaha meraih piala untuk adiknya.

"Dia kenapa?" batin Amir menyerang Hilal.

Meski begitu, Amir akui kekuatan Hilal. Cukup sulit untuk menumbangkannya. Apakah Hilal memiliki kekhawatiran, seperti saat dirinya terpelanting ke belakang karena memikirkan masalah pribadi?

BUGH!

Hilal kembali menumbangkan Amir setelah beberapa kali tumbang, membuat Amir sedikit meringis kesakitan. Namun Amir tidak menyerah. Ia juga harus meraih piala itu.

Manakala Hilal berusaha untuk fokus dan terus menangkis setiap pukulan yang Amir arahkan kepadanya.

Ekor matanya menangkap siluet Taufan di antara penonton. Meski samar, namun Hilal mampu membaca dari gerak bibirnya.

"Selamat tinggal."

Sesudah mengucapkan itu, siluet Taufan perlahan menghilang. Apa maksudnya selamat tinggal? Adiknya tidak sakit keras, kan? Atau karena pikirannya selalu mengkhawatirkan Taufan, jadi ia berkhayal seolah Taufan menonton pertandingannya?

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang