WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Piringan matahari hampir lenyap di tepi langit, berganti malam yang dingin menusuk kulit. Seseorang tengah berdiri dan menunggu dengan cemas di depan pintu.Tak henti-henti ia menoleh jam tangannya, menghembuskan napas resah. Sudah pukul 21.00 malam, namun anak-anaknya tak kunjung pulang. Sebenarnya ke mana mereka pergi? Telpon tidak diangkat, pesan tidak dibalas.
Tak menyerah begitu saja, Nadhira kembali mengirim pesan dan menelepon anak-anaknya. Entah sudah yang ke berapa kalinya ia mengirim pesan dan menekan tombol panggilan, yang pasti sampai anak-anak membalasnya.
Zhao, Theo, kalian ke mana saja? Ini sudah malam. Cepatlah pulang, ayah dan ibu mengkhawatirkan kalian.
Sudah berkali-kali ia mengirimkan pesan, namun anak-anaknya tak kunjung membalas. Bahkan Nadhira rela membuat baterainya lowbat demi menunggu kedua anaknya pulang dengan selamat tanpa cacat sedikitpun.
"Kau masih menunggu mereka?"
Loud. Pria berwibawa dengan sikap yang tegas dan penuh kedisiplinan keluar dari kamar, dan mendapati istrinya yang masih berdiri di depan pintu.
"Ya. Kau sudah mencoba menelpon anak-anak?" tanya Nadhira.
"Tidak."
Apa-apaan jawaban itu? Tapi, meski menjawab dengan nada tidak peduli, namun raut wajah tidak bisa dibohongi. Loud juga mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya.
"Huh. Masuklah ke kamar, Dir. Biar aku yang mengurus anak-anak itu," ucap Loud menghampirinya.
Dengan cepat Nadhira menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau mereka kenapa-kenapa. Aku ingin menunggu mereka pulang tanpa cacat sedikitpun."
Menghela napas panjang, Loud menyuruh Nadhira untuk duduk di sofa, sementara ia membuatkan teh di dapur.
"Sudahlah. Kau duduk saja di sofa, aku buatkan teh hangat untukmu."
Tidak menolak, Nadhira menuruti suaminya dan duduk di sofa dengan perasaan yang sama. Khawatir. Ekor matanya menangkap sebuah pigura keluarga, tepat saat Loud lulus menjadi sarjana.
Nadhira meraih pigura tersebut dan melihatnya dengan seksama. Ia tersenyum sendu, dan mengusap foto Zhao serta Theo. Buliran air menumpuk di pelupuk matanya, mengalir perlahan membasahi pipi, dan berjatuhan mengenai pigura.
Sudah lama sekali sejak mereka ditugaskan keluar kota, jauh dari anak-anak dan sulit memperhatikan mereka. Kini, saat mereka pulang, semuanya berubah. Zhao menjadi lebih pemarah dan lebih suka menghindar.
"Kenapa kalian tumbuh terlalu cepat, Nak? Ibu merindukan masa-masa itu," batin Nadhira menahan isak tangisnya.
Kemudian, tangannya itu memeluk piguranya dengan erat. Tak apa hanya memeluk pigura, asal ia merasakan kedua anaknya memeluk dirinya sembari berdebat.
Ah, masa-masa yang tidak bisa terulang lagi. Kini, hanya bisa berandai saja. Namun tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
"Minumlah."
Suara Loud di sebelahnya, membuat Nadhira menyeka air mata dan menatap secangkir teh hangat yang Loud sediakan di meja.
"Itu minuman yang harus diminum, bukan dilihat dengan tatapan sendu."
"Tsk."
Nadhira menyimpan kembali pigura itu ke tempatnya, dan mulai menikmati sensasi hangatnya teh dengan larutan madu yang suaminya buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Day
Novela JuvenilKehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang-orang menangis, namun kau tersenyum bahagia. Kematian memang akan menjemput setiap umat manusia. Nam...