Bab 26 : Muak

142 16 1
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Kembali ke tempat yang sama, Hilal menunggu Taufan dengan cemas. Adiknya itu selalu saja membuatnya khawatir. Cobaan apa lagi yang Tuhan berikan padanya?

"Hal! Taufan kenapa?!"

Datang dengan napas yang terputus-putus, Amir duduk di samping Hilal dan meminum sebotol air.

"Dia drop lagi, Mir. Gue gak tahu harus gimana. Dan katanya, kankernya semakin cepat berkembang. Ini sudah masuk stadium empat. Padahal baru saja beberapa hari ke belakang Taufan dinyatakan stadium tiga," keluh Hilal.

Terlihat dari tatapan matanya yang sudah lelah itu. Amir paham bagaimana rasanya berada di posisi Hilal. Pasti sangat berat dan sulit untuk diterima.

"Gue kayaknya harus lembur, kerja dari pagi sampai malam."

"Lo gak boleh gitu, Bro! Itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri," tegur Amir merasa tidak setuju. "Lagi pula lo itu manusia, bukan robot."

"Terus gue harus gimana, Mir?! Gak ada cara lain selain menjalankan operasi! Tapi uang gue belum cukup dan cuman cukup untuk melakukan kemoterapi! Dan rambut ... Rambutnya! Rambut adik gue_"

"Sstt, Hal, tenang. Pelan-pelan, ya. Gue paham ketakutan lo, Hal. Paham banget. Gue juga seorang kakak. Tapi gak gini caranya, Hal. Coba mulai dengan kemoterapi," saran Amir.

Hilal hanya mampu terdiam. Rasanya masih seperti mimpi. Tempo debaran jantungnya meningkatkan beberapa persen. Hilal semakin takut kehilangan Taufan, karena stadium nya sudah mencapai puncak.

"Dengan keluarga Taufan?"

Hilal beranjak dari tempat duduk dan langsung saja bertanya keadaan adiknya. "Bagaimana keadaan adik saya?!"

"Stadium nya sudah mencapai puncak. Harus menjalani kemoterapi dan operasi. Jika uang tidak cukup, terpaksa kami berikan obat-obatan lagi. Permisi."

Bolehkah Hilal melaporkan pihak rumah sakit ini pada yang berwajib? Hilal sudah muak. Di mana hati nurani mereka? Tidakkah mereka sadar bahwa ini menyangkut nyawa?

"Gue udah rekam buktinya, lo tenang aja, Hal. Gue bantu kumpulkan bukti-bukti kuat untuk bisa melaporkan rumah sakit ini," ujar Amir menepuk bahu Hilal. "Sekarang lo jenguk adik lo, gue mau balik ke ruangan adik gue."

Hilal mengangguk dan memasuki ruangan Taufan. Helaan napas berat Hilal hembuskan. Tolonglah, angkat penyakit adiknya agar Taufan tidak lagi merasakan sakit dan bisa seceria dulu lagi.

Tangan kasarnya itu meraih pucuk kepala Taufan, membelai kepalanya. Ia menyunggingkan senyum mirisnya, begitu merasakan beberapa helai rambut Taufan yang terbawa.

"Rambut lo udah makin rontok aja, Fan. Hiks, mana yang katanya mau pamer ketampanan? Masa lo mau kayak gini terus? Sembuh ya, Fan. Gue gak tega lihatnya," batin Hilal.

Hatinya terlalu sakit. Apakah memang tidak ada jalan lagi? Tidak, tidak. Hilal tidak boleh berpikir seperti itu.

"Cepatlah siuman, Fan. Gue kangen senyuman dan suara cempreng lo," ucap Hilal mulai tertidur dengan menggenggam tangan Taufan.

***

"Ayah? Mama?"

Tangan Hilal bergetar melihat pemandangan yang ada di depannya. Ayah dan ibunya tengah tersenyum sembari merentangkan kedua tangan mereka, siap menerima terjangan dari Hilal.

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang