Bab 18 : Memburuk

251 15 12
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Hari esok telah tiba. Pagi pun menyapa dunia yang semulanya suram yang hanya di temani sinar rembulan dan kabut yang menutupi arah pandang manusia.

Hari ini, Hilal bangun lebih awal. Seperti biasanya, ia membangunkan Taufan untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah bersamanya.

"Jadilah imam untuk istri dan anak-anak kalian di masa depan nanti."

"Iya, Ayah!"

Itulah nasihat seumur hidup yang Agam ucapkan kepada mereka. Meski dahulu mereka masih belum mengerti ucapan Agam, namun sekarang mereka sudah sangat paham dengan apa yang Agam nasihatkan.

Tok tok tok

"Fan? Udah sholat Subuh belum? Kita berjamaah, yuk?" ajak Hilal mengetuk pintu kamar adiknya.

Namun Taufan tak menjawab. Apakah Taufan masih tidur? Ah, andai saja pintu kamarnya tidak dikunci.

"Fan?"

BRUK

Suara keras itu terdengar hingga ke telinga Hilal, membuatnya merasa khawatir dan mulai membayangkan yang tidak-tidak pada adiknya.

Hilal semakin risau saat tidak ada lagi suara di dalam kamar adiknya. Apa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?

Cklek

"Angin baru bangun, Kak. Maaf, tadi Angin mimpi buruk," turut Taufan merasa menyesal telah membuat kakaknya khawatir.

Terlihat dari keringat dingin yang bercucuran membasahi keningnya. Hal yang membuat Taufan semakin menyesal adalah tatapan yang Hilal berikan padanya.

"Huh. Ya sudah, wudhu dulu sana. Gue tunggu di ruang tamu," ucap Hilal turun ke bawah.

Mengangguk samar, Taufan kembali menutup pintu kamarnya dan pergi ke kamar mandi.

"Rambut gue rontok lagi, ya? Hiks ... Mama, Ayah, kenapa sebentar doang kalian peluk Angin?"

Padahal Taufan masih bisa mengingat dengan jelas senyuman khas seorang Ibu dan Ayah. Kehangatan menyelimuti dirinya, hingga dinginnya udara di pagi hari pun tak bisa menandingi kehangatan sebuah pelukan.

"Huh. Oke, Fan. Jangan nangis di hadapan kak Hilal!" ucap Taufan menampar kedua pipinya.

Ia pun mulai mengenakan sarung dan peci hingga menutupi rambut-rambutnya yang perlahan mulai rontok tersebut. Senyuman terukir di bibir pucat nya itu.

"Angin bisa! Angin pasti bisa melewatinya!" ucap Taufan menyemangati diri sendiri.

"Kami yakin kalian bisa melewati masa-masa sulit ini. Asal bukan Tuhan yang hilang dari hati kalian, pasti akan ada jalan keluarnya."

DEG!

Tubuh Taufan mematung begitu melihat bayangan kedua orang tuanya yang sedang memeluk serta membisikkan sesuatu kepadanya.

Ia sangat melihatnya dengan jelas. Postur tubuh itu. Senyuman itu. Suara yang menusuk kalbu. Dan tatapan yang menyejukkan jiwa itu tengah berdiri memeluknya dari belakang.

"Hih, apa sih yang gue pikirkan?" gumam Taufan menggelengkan kepalanya.

Ketika ia melihat kembali ke arah kaca, bayangan orang tuanya sudah tidak ada lagi. Sudah ia duga. Dirinya pasti berhalusinasi.

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang