WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Sore harinya, Hilal mengajak Taufan ke atas bukit. Tepat seperti apa yang telah Hilal janjikan pada Taufan. Sudah Hilal duga. Taufan pasti akan merasa senang."Wah! Pemandangannya indah banget, Kak! Udaranya segar!" pekik Taufan dengan rona merah di kedua pipinya.
Anak itu. Padahal pagi tadi ia pingsan dengan wajahnya yang pucat. Tapi lihatlah sekarang. Berenergi seperti dahulu. Rona di bibirnya pun terlihat.
"Lo suka pemandangan ini, gak?" tanya Hilal menatap Taufan yang pandangannya tak lepas dari langit senja.
Taufan mengangguk dengan antusias. Melihat wajah Taufan yang berseri-seri, membuat Hilal mengingat masa lalu. Masa-masa di mana orang tua mereka masih ada.
"Kakak! Lihat langit senja nya! Bagus banget!" Taufan menarik bawah jaket Hilal, membuat sang empunya merasa terganggu.
"Ck. Gue tahu, cantik. Gak usah heboh kayak gitu juga kali," ujar Hilal kembali menikmati pemandangan senja di atas bukit.
"Ih! Kakak mah gak asik orangnya!" gerutu Taufan menggembungkan pipinya.
Mara dan Agam tertawa pelan dengan perilaku anak-anaknya.
"Mama! Langit senja nya bagus!" Taufan beralih menatap Mara dengan binar yang tak pernah padam dari matanya.
Mara mengangguk dan mengelus rambut Taufan. "Iya, bagus banget."
"Cantik! Kayak Mama!"
Lagi-lagi Mara tersenyum. Kini, ia dan suaminya memeluk kedua anak mereka dan menatap lekat langit yang disinari warna jingga.
"Di hari kelulusan kalian nanti, kita ke bukit ini lagi, ya? Berempat menikmati langit senja ini sama-sama. Tinggal 3 tahun lagi kalian lulus sekolah dasar," ujar Mara.
"Itu benar. Ayah tidak sabar melihat kalian lulus dengan membawa piala, atau setidaknya membawa nilai hasil kejujuran," sahut Agam duduk di samping Hilal.
"Berlima sama adik bayi yang nanti udah besar kan, Ma?" Lagi-lagi Taufan berujar dengan antusias, sembari mengelus perut Mara yang mulai membesar.
Mara tersenyum manis. Tangannya memegang tangan Taufan yang sedang mengelus perutnya. "Iya, dengan adik Ghifar."
Hilal tersenyum mengingat momen itu. Rasanya ia ingin memutar waktu dan menghentikannya saat itu juga.
"Kira-kira Ayah, Mama dan Adik lagi apa, ya?" tanya Taufan tiba-tiba, masih menatap langit yang berwarna jingga.
Halil terdiam sejenak, kemudian ikut menatap langit. "Pastinya mereka udah tenang di sana. Setidaknya mereka gak ngerasain rasanya bantingan kejamnya dunia."
Taufan melukis senyum tipis. "Angin harap Tuhan juga menyediakan tamannya yang indah di sana."
"Ya."
Kemudian keduanya saling terdiam, melihat awan-awan yang bergerak bersamaan dengan tenggelamnya matahari yang mulai tenggelam.
Di saat Hilal hendak angkat suara, Taufan sudah lebih dulu bersuara.
"Kak, jangan marah, ya?" Taufan menatap kakaknya itu, "itu ... tadi pas Angin pingsan," Taufan menarik nafasnya dalam, merasa jika Hilal mulai menatapnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Day
Fiksi RemajaKehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang-orang menangis, namun kau tersenyum bahagia. Kematian memang akan menjemput setiap umat manusia. Nam...