Bab 12 : Ancaman

179 20 14
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======

Keesokan paginya, sesuai dengan janji yang Hilal buat, ia nekat pergi ke rumah sakit agar dokter melakukan tindakan operasi.

Tentu saja ia membawa Taufan di dalam genggamannya, lengkap dengan jaket birunya.

"Kakak yakin sama keputusan ini?" tanya Taufan terdengar meragukan.

"Iya." Hilal tetap fokus melangkah dan menatap lurus ke depan, namun masih bisa menjawab pertanyaan adiknya.

"Angin ...."

"Diam. Gak usah ragu. Gue bakal paksa mereka melakukan tindakan operasi. Mumpung masih stadium 2, Fan. Masih ada harapan untuk hidup. Kali ini aja gue minta lo dengerin ucapan gue," ujar Hilal memotong ucapan Taufan.

Taufan mengangguk pelan, meski hatinya merasa bimbang. Ia tahu sikap dokter yang memeriksanya saat awal ia masuk rumah sakit itu.

"Tapi mereka gila harta, Kak. Gak ada uang, gak ada penanganan," batin Taufan.

Berat sekali rasanya untuk mengatakan ini pada Hilal. Karena ia tahu, Hilal pasti akan marah besar dan memukul dokter serta pihak rumah sakit.

"K-kak, tunggu dulu." Taufan berusaha menghentikan langkah Hilal, enggan untuk memasuki rumah sakit.

"Hn? Kenapa?" tanya Hilal menunggu Taufan menjawabnya.

"Uh, k-kita sarapan dulu, Kak. Kita lupa sarapan," jawab Taufan memegang perutnya yang kelaparan.

Memijit pelipisnya, Hilal mengangguk dan mencari nasi kuning. Padahal tinggal lurus dan belok kiri, mereka sudah sampai di rumah sakit.

"Syukurlah. Setidaknya gue bisa mengulur waktu."

Taufan mengikuti Hilal mencari nasi kuning. Dan untungnya saja mereka menemukan warung nasi kuning yang agak jauh dari rumah sakit Cinta Kasih.

"Kak, itu ada warung nasi kuning. Ke sana aja, yuk!" ajak Taufan menarik-narik tangan Hilal.

"Ok."

"Yes! Makasih, Kak!" ucap Taufan dengan mata yang berbinar.

Diam-diam, Hilal tersenyum simpul dan mengeratkan genggaman tangannya pada Taufan.

"Gue harap lo bisa secepatnya sembuh, Fan..."

"Kak."

Mereka sudah sampai di depan warung nasi kuning tersebut, dan Taufan berusaha memanggil nama kakaknya.

"Kak Hilal!"

"Kakak!!! Oy, lo masih hidup, Kak?" tanya Taufan melambaikan tangannya di depan wajah Hilal.

Lambaian tangan Taufan membuyarkan lamunannya.

"A-apa?"

"Tsk. Kita udah sampai, Kak! Cepetan! Angin lapar nih," ajak Taufan membuat wajah cemberut.

"Huh. Iya-iya, sabar."

Hilal masuk ke warung nasi kuning dan membeli dua. Setelah itu, mereka menunggu di meja yang masih kosong.

"Kak."

"Hn? Kenapa?" tanya Hilal.

Ayolah, mengapa lidahnya terasa kelu untuk bicara jujur? Lebih baik sekarang, daripada tahu saat di rumah sakit,'kan?

"Mau ngomong apa?" tanya Hilal berusaha sabar menunggu.

"Angin kebelet," jawab Taufan tersenyum canggung.

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang