WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Malam harinya, Hilal tidak bisa tertidur. Bagaimana ini? Sejak sore tadi, Taufan sering muntah-muntah dan bolak-balik kamar mandi.Ia tidak tega. Mengapa takdir suka sekali mempermainkan dirinya? Melihat wajah pucat Taufan yang tertidur dengan ekspresi lelah, membuat tangan besarnya tergerak sendiri untuk membelai rambut adiknya yang mulai rapuh.
"Rambutnya ... Terbawa beberapa helai hanya dengan satu belaian?"
Semakin terpukul lah Hilal. Sekarang ini, kanker nya sudah memasuki stadium tiga. Ia semakin takut kehilangan. Rumah sakit adalah tempat yang paling Hilal benci, karena terdapat banyak luka di sini. Salah satunya adalah kematian Agam, ayahnya sendiri.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami tidak bisa melanggar kehendak Tuhan. Operasi pengangkatan kanker telah gagal. Pasien meninggal hari Kamis, jam 18.30 malam. Kami permisi," pamit para perawat dengan wajah sendu.
Kata maaf yang para perawat ucapkan, menjadi trauma terdalam bagi Hilal. Dan sekarang, Taufan harus mendapatkan penyakit yang Agam derita. Kanker otak yang membuat nyawa Agam melayang dan tidak bisa diselamatkan.
Rasa takut semakin besar. Apakah takdirnya akan sendirian tanpa saudara kandung dan orang tua? Tidak, tidak. Ia tidak boleh berpikir seperti itu. Taufan pasti bisa sembuh dan kembali bermain seperti dulu.
Melirik jam di dinding, Hilal memutusakan untuk tidur sejenak. Sudah jam 01.00 dini hari, namun Hilal masih terus memikirkan perkataan dokter.
"Cepatlah kumpulkan uangmu, maka adikmu akan selamat. Jika tidak, jangan salahkan pihak rumah sakit."
Bedebah. Dokter itu sangat meremehkan dan menganggap bahwa nyawa adalah permainan. Seperti sebuah game, di mana tidak ada uang, tidak bisa bertahan hidup. Seperti sebuah game yang pernah mereka mainkan.
"Huh, bismillah dapat jalan keluar," gumam Hilal berusaha memejamkan matanya di sofa.
Takut.
Hilal takut kehilangan.
Tuhan itu baik, kan?
Ya, Tuhan Maha Mengabulkan.
Hilal tidak usah takut.
"Fan..."
***
Terbangun dengan napas yang tersengal, Hilal menatap sekeliling ruangan. Ternyata hanya mimpi buruknya. Melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Itu artinya, Hilal tidur hanya satu jam setengah.
Hanya dengan menatap wajah Taufan yang terlihat begitu tenang ketika tertidur, membuat kekhawatiran Hilal sirna begitu saja.
"Cepat sembuh, Fan. Lo janji kan, selagi ada gue, lo bakal sembuh." Sedikit diberi jeda, Hilal pun melanjutkan ucapannya. "Gue ada sama lo, makanya lo harus sembuh."
Hatinya terlalu rapuh untuk menerima kenyataan bahwa Taufan memiliki penyakit yang sama seperti yang ayahnya derita.
Isi pikirannya sekarang dipenuhi ketakutan akan kematian dan ditinggalkan seorang diri. Tanpa ada suara cempreng dari Taufan, senyuman secerah mentari, dan pelukan mendadak yang selalu Taufan berikan padanya.
Hanya dengan membayangkan saja, Hilal sudah menangis. Tidak, ia tidak bisa menerimanya. Taufan sudah berjanji untuk sembuh dari penyakitnya, kan? Seharusnya ia tidak khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Day
JugendliteraturKehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang-orang menangis, namun kau tersenyum bahagia. Kematian memang akan menjemput setiap umat manusia. Nam...