WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Mata yang tertutup kian terbuka. Seorang pemuda yang terbaring di atas ranjang rumah sakit itu baru saja siuman dari pingsannya.Bau obat-obatan menyengat indra penciumannya. Dapat Taufan rasakan sakitnya jarum infus yang kembali menusuk kulit serta pembuluh darahnya.
Dan di saat itu juga, ia melihat sosok sahabatnya yang tertidur sembari menggenggam tangannya. Serta memakai topi kesukaan di atas kepalanya.
Tentu saja hal itu membuat Taufan dua kali tersentak.
Baru saja Taufan hendak memperbaiki posisinya, kepalanya kembali terasa di hantam, membuatnya refleks meringis dengan satu kejutan dari seseorang yang mencegat dirinya.
Mendorong pundaknya agar kembali berbaring di atas kasur, Taufan menoleh pada arah juluran tangan yang berada di kedua bahunya tersebut, Theo.
"Istirahat dulu, lo baru aja sadar," ucap Theo dengan nada datar, kembali menyelimuti Taufan.
Kening Taufan sedikit berkerut. "Maaf, Kak. Angin--"
"Bukan salah lo, lo juga gak ngerepotin, kok," potong Theo begitu tahu apa yang hendak Taufan katakan padanya, "istirahat, Fan. Jangan banyak beban pikiran," lanjut Theo.
Taufan hanya bisa terdiam sejenak di saat itu. Setelahnya tersenyum tipis dan mengangguk setuju.
Baru saja matanya yang berat hendak mengantarkannya ke alam mimpi secara tiba-tiba, kedua netra Taufan kembali membulat sempurna.
Baru sadar jika ada satu hal yang menjanggal di sana. "Kak Hilal mana?"
***
Kembali berada di tempat yang sama, Hilal kini berhadapan dengan dokter yang menyebalkan. Entah apa yang takdir inginkan hingga Hilal dipertemukan lagi dengan orang seperti itu.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Hilal berusaha menetralkan suaranya.
Dokter tersebut tampak menghela napas panjang dan menaruh stetoskop di atas meja.
"Adikmu. Kanker nya sudah semakin ganas dan sudah menginjak stadium tiga. Seharusnya sudah menjalankan kemoterapi saat awal terdeteksi, apa kau sanggup membayar administrasi nya, Nak? Administrasi kemoterapi dan operasi."
Ini yang Hilal benci. Ia tahu segalanya butuh uang, tapi tidakkah yang menyangkut soal nyawa diberikan keringanan?
"Ck. Berapa harga kemoterapi dan operasinya?" tanya Hilal merasa geram.
"Oh, murah. Harga kemoterapi nya 400.000 tiap Minggu, dan harga operasinya di atas 200.000.000
"....."
Dokter itu tampak menyeringai samar, kemudian memanipulasi kembali wajahnya.
"Bagaimana? Harga aslinya sebenarnya 11.000.000 juta saja, tapi ku turunkan khusus untukmu," ucap dokter tersebut.
Hilal mengepalkan tangannya, kemudian beranjak berdiri. "Jangan remehkan saya!" ia membuka pintu ruangan tersebut, "tanpa belas kasih palsu anda, saya bisa menghasilkan uang sebanyak itu! Saya permisi!"
BRAK!
Dokter itu tampak mendegus sinis begitu pintu di banting. Seringai yang ia tahan sedari tadi terlihat. "Coba saja kalau bisa."
Sementara yang berada di luar ruangan sedang berjalan di koridor rumah sakit, berjalan kembali menuju ruang adiknya.
Menggaruk kepala belakangnya, Hilal menatap layar ponselnya yang menampakkan sederetan angka-angka tinggi dalam aplikasi kalkulator.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Day
Teen FictionKehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang-orang menangis, namun kau tersenyum bahagia. Kematian memang akan menjemput setiap umat manusia. Nam...