Bab 4 : Apartemen

224 31 9
                                    

WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
"Pasien Taufan, dimana wali mu?" seorang dokter yang baru saja masuk ke dalam ruangan Taufan, membawa sebuah catatan di tangannya.

Taufan menjadi tegang, apalagi ketika dokter itu semakin mendekat ke arahnya. Bagaimana ini? Theo dan Zhao pergi untuk mencarikan makanan dan baju ganti untuknya.

"M-mereka tidak ada di sini, mereka sedang pergi," jawab Taufan formal dan gugup. Entah kenapa rasa gugup itu mendominasi dirinya hingga melupakan rasa sakitnya sejenak.

Dokter itu tampak menghela napas, kemudian dengan malas memberikan sebuah kertas kepada Taufan. "Ini hasil tes yang di minta oleh mereka, berikan pada mereka kalau mereka kembali, saya pamit dulu," pamit dokter tersebut beranjak pergi dari sana.

Sementara Taufan yang tak siap mengambil kertas itu membuat kertas itu terjatuh ke atas lantai rumah sakit. Dengan terpaksa, ia turun dari atas brankar nya untuk memungut kertas itu.

Begitu ia membawa hasil tes, Taufan mematung di tempat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tangannya bergetar hebat, sekaligus air mata mengalir dengan sendirinya.

***

"Jadi, gimana?" tanya Theo.

"Gue gak kenapa-kenapa kok, Kak. Kata dokter, gue cuman kecapekan sama harus banyak istirahat," jawab Taufan dengan raut yang begitu tenang.

Tatapan Theo tajam sesaat, namun setelahnya ia menghela napas dan menyuruh Taufan untuk kembali masuk ke dalam mobil.

"Kalau ada apa-apa, bilang."

"Siap, Kak!" Taufan memberi hormat pada Theo dan memasuki mobil.

"Cih."

Melihat Zhao yang terlihat cemburu, membuat Taufan ingin tertawa dan menjahilinya.

"Cieee ada yang cemburu kakaknya perhatian sama gue," goda Taufan mencolek pipi Zhao yang memerah.

"S-siapa juga yang cemburu?! G-gue biasa aja tuh!"

"Ah tapi kok mukanya merah?" tanya Taufan menahan tawanya.

Setidaknya dengan menjahili Zhao, rasa khawatirnya berkurang. Meski hanya sesaat.

Laju mobil Theo berhenti di sebuah apartemen yang besar dan megah. Hal itu membuat Taufan sedikit tersentak begitu melihat ke arah luar jendela.

Ia tahu jika dua kakak beradik ini tinggal di salah satu kamar di sana. Taufan sudah pernah masuk saat dia memaksa Zhao untuk memberitahukan dimana letak rumahnya.

Benar-benar nasib yang berbeda dengan Taufan, Theo dan Zhao tergolong keluarga konglomerat.

Tapi pertanyaan yang menghantui pikiran Taufan saat ini adalah, untuk apa dia kemari?

Begitu Theo membuka pintu belakang pada mobil, Taufan tersentak dari lamunannya.

"Sedang apa? Ayo turun," ajak Theo menarik tangan Taufan, sedikit berjaga-jaga jika tubuh anak itu kembali limbung seperti tadi.

Taufan menatap Theo dengan tatapan heran. "Kenapa ke sini?" tanya Taufan.

"Tinggal di apartemen kami untuk sementara waktu." Ia mengelus puncak kepala Taufan sejenak. "Takutnya kau kenapa-napa kalau di tinggal sendiri nanti."

Sempat ragu untuk menerima ajakannya, namun Taufan tetap melangkahkan kaki ke dalam apartemen mereka.

Memang garis takdir yang sangat berbeda. Mereka memiliki segalanya, dan juga orang tua yang mampu membayar hidup mereka serta berkecukupan.

Last DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang