WARNING!!!
1. 100% MURNI IDE SENDIRI! MOHON MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, LATAR, DAN ALUR. ITU SEMUA DILUAR KEHENDAK AUTHOR!
2. NO TUDUH PLAGIAT!
3. BERANI TUDUH? BERANI MENGHADAP TUHAN DI AKHIRAT KELAK!
4. SEKIAN TERIMA KASIH!
======
Keesokan paginya, Hilal kembali berdebat dengan Taufan. Anak itu sangat keras kepala. Padahal Hilal sudah melarangnya untuk berangkat sekolah, tetapi Taufan selalu mengelak."Fan. Lo di rumah aja, jangan sekolah," tegas Hilal kembali melarang Taufan.
"Kak, Angin baik-baik aja kok. Kalaupun kambuh, Angin bisa minum obat," rengek Taufan berusaha membujuk Hilal.
Manakala Hilal tampak menghela napasnya. Ia penasaran. Seberapa gesitnya Taufan meminum obatnya.
"Oh ya? Apa benar begitu?" tanya Hilal.
"Iya, Kak."
"Oke. Beritahu gue, di mana lo meletakkan obat yang lo butuhkan?"
Wajah Taufan mendadak pucat pasi. Ia lupa di mana menaruh benda bulat itu. Dengan panik, Taufan membuka satu-persatu resleting tas nya, berusaha mencari persediaan obat.
"Huh, obat lo ada di meja. Selepas Shalat Subuh, lo simpan obat itu di meja dan gak membawanya lagi ke kamar," ujar Hilal memberikan obatnya pada tangan Taufan.
Inilah yang Hilal khawatirkan dari Taufan. Bagaimana jika saat Hilal tidak ada di sampingnya, dan Taufan melupakan obatnya?
Beruntung jika ada Zhao dan Theo. Jika tidak? Hilal tidak mau membayangkan risikonya.
"M-maaf, Kak. A-angin ceroboh," sesal Taufan memasukkan obatnya ke dalam tas.
"Huh. Jangan memaksakan diri lo, Fan. Kalau sakit, sehari lagi aja lo tinggal di rumah." Hilal menepuk bahu Taufan, menatapnya dengan penuh keseriusan.
Taufan menundukkan kepalanya. Padahal dulu ia tidak pelupa seperti ini. Apakah ini adalah efek samping obat-obatan, atau gejala penyakitnya?
"Padahal dulu Angin gak pelupa parah kayak gini..."
"Fan, tatap mata gue."
Dengan patah-patah, Taufan menatap mata Hilal. Tatapan yang penuh ketulusan dan kasih sayang. Mirip sekali dengan tatapan Mara, ibu mereka.
"Setiap masalah, pasti akan ada jalan keluarnya. Percaya pada kata-kata itu."
Ucapan Hilal sama seperti ucapan Mara pada mereka sewaktu kecil, saat uang SPP mereka harus dilunasi, namun orang tua belum sanggup membayar tunggakan.
"Angin gak mau dikeluarkan dari sekolah, Ma. Angin mau main sama teman-teman."
"Sstt. Nak, hei. Dengarkan Mama, ya? Angin pasti bakal terus sekolah sampai hari kelulusan, kok. Angin gak akan dikeluarkan. Mama yakin itu," ucap Mara mengusap air mata Taufan.
"T-tapi kata bu guru, Angin sama kak Hilal gak bisa sekolah lagi karena Mama sama Ayah gak bisa bayar uang sekolah."
Mara tersenyum sendu. Ia berjongkok, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Taufan.
"Setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya. Percaya pada kata-kata itu," ujar Mara memeluk Taufan. "Mama yakin, kalian akan sekolah sampai jadi sarjana. Nanti Mama hadir di hari kelulusan kalian. Mama janji."
Taufan ingat. Mara. Ibunda yang sangat ia cintai. Ucapan Hilal mengingatkan Taufan pada Mara. Ucapan, nada dan tatapannya sama persis seperti mendiang ibunya.
Tidak siap menahan tangis, air matanya mengalir dengan deras, membasahi pipi dan baju seragam.
"Ingat kata-kata mama, kan?" Hilal menyeka air mata Taufan. "Di atas sana, mama pasti sedih kalau lihat lo kayak gini," sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Day
Fiksi RemajaKehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang-orang menangis, namun kau tersenyum bahagia. Kematian memang akan menjemput setiap umat manusia. Nam...