Prolog

193 25 4
                                    

Semua ini berawal ketika nampak sebuah matahari yang sinarnya perlahan meredup, tenggelam di ujung pandang. Rona jingga serta mega merah nampak melambaikan ucapan selamat tinggal mewakili matahari yang mulai terbujur di pembaringan.

Tatkala pandangan sesekali disebar, nampak burung-burung yang lalu lalang terbang telah berubah menjadi sekumpulan siluet yang kehitam-hitaman. Padi-padi di persawahan terlihat menunduk penuh tawaduk, meski sesekali mesti bergoyang-goyang sebab dibelai desir angin yang berdatangan.

Di sebuah pondok pesantren, atau lebih pastinya di sebuah gedung madrasah pondok pesantren itu. Atau mungkin yang lebih tepatnya adalah di lantai 3 gedung madrasah itu yang merupakan salah satu bagian tubuh dari sebuah pondok pesantren, terlihat seorang santri tengah termangu memandang senja yang semakin luruh.

Ia nampak terduduk sendirian di situ, di atas sebuah bangku. Di pangkuannya, berbaring sebuah buku catatan dengan sehelai pena di atas halaman kosongnya yang terbuka. Santri itu sekilas terlihat berbinar-binar sekali sepasang matanya. Perlahan ia nampak mengambil sehelai pena tersebut, kemudian ia arahkan ujung penanya menulis sesuatu di halaman kosong buku yang terbaring itu.

Tanpa disangka si santri, angin yang berdesir sempat mengeja tulisannya,

Aku ingin seperti senja,
yang terbenam, menjadi malam,
yang tahu gerak-gerik Sang Waktu,
yang telah melahirkan dirimu.

*****

Alloh Akbar.... Alloh Akbar....
Suara adzan maghrib terdengar berkumandang. Si santri itu pun lantas tersadar. Ia perlahan nampak menutup buku tersebut, lalu setelahnya ia beranjak dari tempat duduknya. Ia hadapkan tubuhnya ke arah belakang. Dan yang ia lihat, lorong-lorong itu amatlah kesepian dengan jajaran ruang kelas yang sedikit tertutup pintu masuknya. Yang amat terbuka lebar jendela rahasianya.

Tak berselang lama, ia kemudian melangkahkan kaki ke arah tangga yang berada tak jauh dari tempat berdirinya. Sesampainya di tangga tersebut, perlahan ia menuruni anak tangga tersebut satu per satu hingga sampai di lantai dasar gedung madrasah.

Sesampainya di lantai dasar, barulah ia menyadari bahwa tinggal dirinyalah yang tersisa di tempat itu. Setelah sebelumnya di sebuah lapangan yang tak jauh di hadapannya, ia sempat bertemu dengan beberapa santri yang penuh keringat sedang bermain sepak bola.

Kemudian ia segera melangkah kembali dengan langkah yang sedikit lebih cepat. Ia seberangi lapangan di hadapannya itu yang berpasir sendirian. Namun, siapa sangka, ternyata desir angin yang tadi sempat mengeja sajaknya sembunyi-sembunyi membuntutinya dari arah belakang.

Beberapa saat setelahnya, ia telah
melewati gerbang madrasah. Dan beberapa langkah ke depan, ia telah sampai tepat di pinggir jalan pemisah kompleks madrasah dan kompleks pondok pesantren. Ia nampak tertunduk di situ, sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri sekedar memastikan bahwasanya jalanan di depannya telah sepi akan lalu lalang kendaraan.

Begitu ia merasa bahwa sudah tiba waktu yang pas untuk menyeberang, ia segera melangkahkan kaki kanannya ke depan. Namun, belum sempat kaki kirinya menyusul langkah kaki kanannya, ia telah terhenti. Matanya nampak terbelalak melihat satu sosok di seberang jalan.
Seorang santriwati nampak tengah berdiri tepat di pinggir jalan. Sepasang matanya yang jernih terlihat tengah memperhatikan kanan dan kirinya apakah masih ada kendaraan. Begitu merasa telah sepi, santriwati itu pun meluruskan pandangannya ke depan.

Seketika, pandangan si santri dan si santriwati itu pun berjumpa, dan "cesss...," embun pagi seakan tiba-tiba menetes di hati si santri tersebut. Namun hal itu tidaklah bertahan lebih lama. Sebab kemudian, seakan menyadari akan tatapan yang tak sengaja bertemu itu, si santriwati lantas menundukkan kepalanya. Embun yang seakan menetes di kalbu si santri pun lantas mengering seketika.

Setelahnya si santri pun ikut-ikutan menundukkan kepala. Dan dengan segala rasa yang entah apa sebutannya, si santri itupun memutuskan untuk lanjut menyeberang ke arah kompleks pondok pesantren. Dan tanpa diduga pula, di waktu yang bersamaan si santriwati juga nampak segera menyeberang ke arah kompleks madrasah.

Jadilah tanpa ada rencana sebelumnya, si santri dan si santriwati itu pun bersanding badan di tengah jalan dalam balutan diam serta tundukan kepala yang dalam. Dan seakan-akan tak saling peduli, si santri dan si santriwati itupun terus berjalan lurus tanpa ada tegur sapa di antaranya, terkecuali sapaan yang hanya mampu diartikan oleh keheningan.

Si santri nampak seketika menghilang di telan belokan jalan menuju kamarnya. Sedang si santriwati nampak menghilang dilahap gerbang kompleks madrasah. Namun, siapa sangka, hal lain justru dilihat oleh rerimbunan daun yang berkumpul di sebatang pohon randu di samping gerbang.

"Aku melihat sepasang bayangan saling berpegangan tangan di tengah jalan itu, dan setelahnya mereka abadi bersama keheningan di sepanjang kehidupan selepas matahari benar-benar luruh di pembaringan," bisik sehelai daun dengan daun lainnya.

Siapakah sepasang bayangan itu? Tak ada yang pernah tahu, terkecuali Waktu. Mungkinkah mereka adalah si santri dan santriwati? Ah... siapa pula yang peduli pada bayangan selain pena malaikat pencatat yang menyerahkan setumpuk laporan harian manusia dan segalanya kepada Tuhan.

Shubuh Itu Terbit dari Sepasang MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang