1

8.5K 180 5
                                    

Entah harus berapa kali Lita mengatakan pada putranya, Sultan bahwa ia tidak akan pernah merestui hubungan anaknya itu dengan kekasihnya. Rasanya ingin putus saja urat-urat lehernya itu.

"Pokoknya Mama gak setuju. Gak ada tapi-tapian" ujar Lita pada putranya itu tanpa kompromi. Begitu juga dengan suaminya, Haryo yang sama-sama tidak merestui hubungan putranya dengan kekasihnya yang sudah berjalan sejak di bangku kuliah itu.

"Apa yang salah dari Gisel sih? Dia pinter, cantik, anggun. Sama kita juga keluarganya sepadan" ujar Sultan sambil menyebutkan satu per satu kelebihan Gisela, kekasih yang selalu ia bangga-banggakan.

"Sekali gak, tetep gak!" uar Haryo dengan tegas pada putranya itu.

Sultan yang sudah paham dengan watak kedua orang tuanya memilih untuk diam dan tidak mau memperpanjang urusan.

Ia hanya menghela napas dan kemudian beranjak dari sofa empuk ruang keluarga rumahnya dan kemudian menuju kamarnya. Mencoba untuk menenangkan dirinya yang selama ini selalu menerka-nerka mengapa kedua orang tuanya tidak merestuinya dengan Gisela.

Berbeda dengan kakaknya, Bian, yang justru direstui menikah dengan kakak iparnya, Andien. Padahal ketika pertama kali bertemu dulu, Andien dan Bian terlihat pertengkaran hebat, dan Sultan masih suka kesal jika mengingat hal itu.

Sedangkan ia dan Gisela yang memulai semuanya dengan baik-baik malah tidak mendapatkan restu. Sebenarnya apa yang salah dengan orang tuanya ini?

Masuk ke kamar, ia mengambil ponselnya untuk mngecek pesan yang mungkin tidak terbaca olehnya.

Satu pesan dari rekan sejawatnya mengenai jadwal praktek.

Satu pesan dari online shop yang mengonfirmasi resi pengiriman dari barang yang ia beli.

Delapan pesan dari grup dokter di rumah sakit tempatnya bekerja.

Dua pesan dari Gisela, pujaan hatinya.

Tentu saja pesan dari Gisela yang paling pertama ia baca.

Gisela

Nanti jadi nonton bareng 'kan?

Aku nemenin Mama belanja dulu, mungkin agak lama.

Ia membalasnya seketika selesai membacanya, tanpa berpikir lama.

Setelah membalasnya, ia pun menaruh ponselnya kembali dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Usianya sudah menginjak dua puluh tujuh tahun.

Sempat terpikir olehnya untuk menikahi Gisela. Namun tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan restu dari orang tuanya ini. Belum lagi kakak maupun adiknya juga bersikap yang sama pada Gisela. Entah apa kesalahan kekasihnya itu?

"Gak mungkin gue ngehamilin anak orang. Kalaupun toh bisa nikah, anak itu juga bukan tanggungan gue" ujarnya dengan pikiran mengawang.

Ia buru-buru menghilangkan pikiran tersebut. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh ke arah sana yang malah akan membuatnya berpikir yang semakin tidak-tidak.

Melihat beberapa temannya yang sudah menikah, sedikit banyak Sultan juga mengingkan hal yang sama.

Menghabiskan sisa hidupnya dengan wanita yang ia cintai, mengapa tidak?

Tetapi restu orang tua yang tak kunjung ia dapat -atau mungkin tidak akan pernah ia dapat- terus menghantuinya. Ia tidak mungkin meninggalkan Gisela yang sudah bersamanya sejak di pertengahan bangku kuliah itu.

"Kapan sih gue bisa nikah, terus hidup tenang?"


                                                                                                            ****

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang