[Hanya fiksi]
•••
Yuta memegang kertas yang bertuliskan nama Jisung, juga angka empat dengan tinta warna merah.
"Di Korea, angka empat berkaitan dengan kematian. Dan jika seseorang menulis sesuatu dengan menggunakan tinta merah dipercaya akan membawa sial."
Jisung bergidik ngeri.
Setelah kakak iparnya pergi, Jisung bercerita tentang sepatu yang digantung pada Yuta. Tapi, Yuta juga menemukan kertas itu.
"Jinjja? Aku tidak tau tentang itu," lirih Jisung ketakutan.
"Dan itu. Sepatu yang digantung seperti itu, itu juga pertanda kesialan atau kematian semacamnya. Itu hanya mitos orang Korea."
"Gwenchana Jisung-ah, itu hanya mitos."
Itu memang benar, hanya mitos. Tapi, siapa yang menggantung sepatunya? Dan, untuk apa orang itu melakukannya?
"Ayo, kita jalan-jalan dan makan makanan enak. Itu akan membuatmu tenang."
Jisung menggeleng pelan. "Aku akan di kamar saja Hyung. Aku akan istirahat, dan bermain game."
"Mau bermain bersama?"
Lagi-lagi Jisung menggelengkan kepalanya. Yuta mengangguk, dan menghela napasnya. Ya, Jisung butuh istirahat.
"Kalau begitu Hyung di kamar Hyung, jika butuh sesuatu panggil saja Hyung."
Jisung hanya berdehem pelan. Yuta berjalan keluar dari kamar Jisung. Sebelum menutup pintu, Yuta kembali menatap Jisung untuk tiga detik barulah ia benar-benar menutup pintu kamar dan pergi.
Begitu Yuta keluar dari kamar, Jisung menerima panggilan telepon dari eommanya. Ia segera mengangkatnya.
"Eomma ... "
"Ada apa dengan suara mu? Apa terjadi sesuatu? Ngomong-ngomong eomma sudah memasak makanan kesukaan mu. Menantu tiba-tiba mengajukan diri mengantarkan makanan itu ke dorm mu, apa dia sudah sampai?"
Jisung mengangguk, meskipun eommanya tidak akan melihat. "Sepuluh menit lalu Noona baru saja pulang bersama Jinwoo."
"Lalu, apa kau belum memakannya? Kenapa suara mu terdengar lesu seperti itu?"
"Eomma apa aku membuat kesalahan lagi? Seseorang mengirimi sepasang sepatu, lalu ada kertas yang ditulis namaku dan angka empat. Dan, itu ditulis dengan tinta warna merah. Yuta Hyung bilang, itu tanda kesialan."
"Eo? Bagaimana Yuta bisa tau? Itu adalah mitos orang-orang Korea."
Jisung mengedikkan bahunya. Mungkin saja karena Yuta sudah terlalu lama di Korea.
"Jangan cemaskan hal-hal seperti itu Jisung-ah. Kau harus selalu berpikir positif, dan ceria. Pikiran negatif akan membuat mu sedih, dan murung tanpa alasan."
"Itu hanya mitos, tidak akan ada yang terjadi. Kau cukup jaga diri, selalu berhati-hati."
"Baiklah, eomma."
"Eomma akan membelikan sepatu juga untukmu. Sepatu yang lebih bagus, dan lupakan sepatu paket itu."
"Sepatu? Belikan aku hoodie saja, eomma ... "
Terdengar kekehan kecil dari seberang telepon. Dikasih hati, minta jantung:v
"Arraseo, eomma akan membelikan mu sepatu dan hoodie."
Jisung mendelik, ia mengibaskan tangannya dengan panik.
"Jangan eomma! Kenapa eomma harus membelikan ku begitu banyak. Anak eomma sudah berpenghasilan, eomma tidak perlu membelikan ku. Aku akan membelinya sendiri."
"Sungguh? Jadi kau tidak mau?"
"Emm tapi kalau eomma memaksa, apa boleh buat. Kirimkan saja, eomma ... "
Jisung tertawa kecil. Kenap juga ia harus menolak hadiah?
Akhirnya ia melupakan tentang mitos-mitos tidak jelas yang sempat mengganggu pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 2. I'm Tired : Park Jisung
Fanfiction[Lengkap] Dengan Chenle menyelamatkan Jisung setelah melihat mimpi buruknya, apakah itu memang hal yang terbaik untuk Jisung? Ini tentang Jisung yang lelah dengan permainan takdir untuk hidupnya. Kenapa hidupnya sangat rumit? Benar-benar melelahkan...