8. Terjebak

1.5K 233 8
                                    

Perbincangan keduanya berakhir saat gerimis tiba-tiba datang. Mereka setengah berlari keluar pemakaman dengan berpayung tangan. Tanah yang mulai basah menyulitkan langkah keduanya. Indira berulang kali hampir terjatuh, dan Yasa yang ingin membantunya tak pernah diberi kesempatan oleh dia. Angin kencang membuat rambut Indira yang tertutup pasmina mencuat. Tak ada kata yang keluar dari bibir mereka. Hanya mata yang sempat saling tatap dengan berjuta arti.

Berkali-kali tangan Indira sibuk merapikan helaian rambutnya. Perempuan itu berdiri di depan salah satu kios penjual bunga tak jauh dari pintu masuk makam. Setelah celingukan mencari keberadaan Uti, dan tak menemukan orang atau pun motornya, Indira akhirnya bertanya pada penjual bunga.

“Bu, tadi lihat teman saya yang memakai celana jins dan kemeja biru?” Indira bertanya lembut dengan memberikan senyumnya.

Yasa yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri mendengarkan dengan seksama. Suara Indira yang lembut sudah lama tak hinggap di telinganya. Yasa bahkan tak ingat kapan terakhir kali Indira berbicara seperti itu.

“Oh, Mbak-Mbak yang pakai motor matic merah, ya? Tadi sih, ke arah sana.”

Ibu penjual bunga menunjuk jalan ke arah yang dia datang. Indira mengembuskan udara melalui mulutnya. Kesal dengan sikap Uti yang asal main tinggal. Indira menggigit bibir, matanya kesana- kemari menunggu kedatangan Uti tapi gadis itu tak kunjung datang. Ke mana dia? Indira bertanya dalam hati tapi tak ada jawaban yang bisa memuaskannya.

Gadis itu seperti hantu saja, pikir Indira kesal. Datang tak dijemput, pergi pun tak diantar. Suka datang tiba-tiba pula.

“Mau kuantar pulang?”

Suara berat di belakang tubuhnya membuat kepala Indira tersentak. Dia baru menyadari Yasa masih berdiri menunggunya dengan kemeja digulung hingga siku.

Tidak.

Mana mungkin Yasa menunggunya?

Lelaki itu pasti juga menunggu seseorang.

Seperti dirinya.

Indira menertawakan  dalam hati kebodohannya. Dia  menggeleng pelan, “Aku tunggu Uti saja.” Jawab Indira pada akhirnya.

Indira tak ingin berbesar hati mengharap lelaki itu menemaninya menunggu Uti, apalagi benar-benar mengantarnya. Siapa lah dia bagi lelaki itu? Mereka sudah tak memiliki arti satu sama lain. Setidaknya itu yang ada di kepala Indira saat ini.

Yasa tak membalas, dia memilih duduk tak jauh dari tempat mantan istrinya berdiri. Dari belakang, tampak sekali tubuh mungil Indira begitu rapuh. Perempuan itu memeluk tubuhnya sendiri dengan kepala tak berhenti menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menyelipkan helai rambut yang keluar tertiup angin.

Punggung perempuan itu tak setegak dulu. Yasa yakin, peristiwa beberapa waktu yang lalu membebani hidupnya. Tangan Yasa mengepal di samping tubuh. Ingin sekali dia merengkuh Indira dan membawanya dalam pelukan. Menenangkan perempuan itu dengan membelai rambut serta punggungnya. Seperti dulu, yang biasa dia lakukan.

Tapi mereka sudah berpisah.

Tangan kiri Yasa mengusap kasar wajahnya. Mengusir kenangan yang tiba-tiba mengusik. Bagaimana pun mereka pernah melalui hari yang sama. Hingga menghabiskan malam berdua. Yasa membenarkan isi kepalanya.

Ya, dia hanya merasa seperti bernostalgia. Tak lebih dari itu.

Hujan yang tiba-tiba datang membuat tubuh Indira mundur beberapa langkah. Meski tidak yakin, Yasa menggeser tubuhnya memberi ruang.

“Mbak, duduk aja dulu. Hujannya lumayan deras. Pasti temannya masih berteduh.” Dengan suara lembut ibu penjual bunga menunjuk bangku di sebelah Yasa. Indira awalnya ragu menerima tawaran itu, tapi kakinya mulai pegal.

Dengan berjalan perlahan Indira mendekat. Ragu dia duduk di ujung bangku, tak menoleh. Keduanya kembali seperti orang asing.

Indira mendesah lembut, memang mereka orang asing, bukan?

Lalu apa yang akan orang asing lakukan ketika bertemu selain diam dan  tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Hujan semaki deras, deru angin menyapu dedaunan. Hujan bulan Januari selalu berteman angin. Terkadang tak seberapa, tapi menjelang akhir bulan seperti ini angin kencang selalu hadir tepat waktu.
Daun-daun kamboja meliuk terbawa angin, tapi tak sampai berjatuhan. Sementara bunga kamboja putih yang menua terhempas begitu saja. Bunga-bunga itu akan membawa senyum bagi beberapa orang. Biasanya, ada orang-orang yang sengaja mencari  kamboja yang berguguran di makam. Indira tidak tahu untuk apa kamboja-kamboja itu. Tapi tetangganya dulu ada yang seperti itu, halaman rumahnya dipenuhi kamboja kering sedang dijemur.

Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Musim hujan sedang sibuk-sibuknya. Tanah yang bosan dilanda kemarau terlalu bersemangat menampung tetesan air dari langit.
Indira melirik jam tangannya, sudah setengah dua belas. Dia mendesah lembut, menyadari hampir tiga jam di pemakaman. Perutnya mulai berteriak, tadi pagi hanya segelas teh tanpa gula dan sehelai roti mentega yang masuk. Tadi saat berangkat ke sini, dia dan Uti berencana makan siang semangkuk bakso. Tapi sepertinya itu hanyalah bualan semata.

“Masih mau menunggu Uti?”

Suara Yasa menyadarkan Indira jika di sini dirinya tidak sendirian. Indira masih bertahan dengan mode bisunya, hanya anggukan pelan yang dia kirim pada lelaki yang duduk gelisah tak jauh darinya.

Sementara menunggu jawaban Indira, Yasa menatap langit yang menghitam. Meski tak sepekat tadi dan mulai memudar, namun tanda kehadiran matahari tak dapat dia temui.

“Hujannya masih bertahan. Kamu yakin tidak mau aku antar?” tanya Yasa sekali lagi tanpa menoleh.

Kali ini kepala Indira menatap lelaki di sampingnya.

Dari samping lelaki itu terlihat semakin terawat dari terakhir kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu. Rahangnya yang kokoh tak nampak ditumbuhi bulu-bulu halus. Rambut hitam Yasa terpangkas rapi dengan model baru, tipis di bagian samping dan memanjang di bagian tengah.

“Bagaimana?”

Indira tersentak ketika Yasa kini mendapati dirinya tengah menatap lelaki itu. Mereka sempat beradu mata sebelum Indira memalingkan wajah.

Apa yang aku lakukan barusan?

Batin Indira menjerit, napasnya memburu dengan degup jantung tak beraturan. Indira memberanikan diri menatap mantan suaminya sekali lagi sebelum menjawab.

“Atau mau kupesankan ojek online?”

Gelengan kuat perempuan itu beri. Matanya berkaca-kaca. Lintasan peristiwa beberapa waktu yang lalu datang silih berganti. Dia masih belum bisa melupakannya walau sudah mencoba.

“Ndi? Kamu... baik-baik saja?” Perubahan wajah Indira membuat ketenangan Yasa terusik. Lelaki itu seketika mendekat hendak memegang tangan Indira, tapi perempuan itu semakin menjauh.

“Jangan...” lirih Indira dengan napas tersengal.

Kedua tangan Yasa terhenti di udara. Dia tahu Indira tak mau dia sentuh lagi. Tapi penolakan dari bibir perempuan itu seperti sebuah kesakitan. Tiba-tiba saja hentaman di kepala membuat Yasa mengernyit. Kedua matanya tak lepas menatap Indira yang tengah meredakan gejolak di dadanya. Sesuatu melintas diingatannya membuat mata lelaki itu melebar.

“Kamu takut dengan ojek online, Ndi?” Yasa menebak dengan ragu. Tapi sorot mata yang Indira beri setelahnya, membuat dadanya seperti dipukul ribuan orang.

Indira trauma dengan peristiwa itu.

Dan itu karenanya.

-o0o-

Hai-hai, maaf lama baru muncul. Semoga masih bertahan dengan Yasa-Indira, ya...

Peluk jauh
Vita

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang