23. Memancing Yasa

1.7K 220 9
                                        

Ruang keluarga yang asri karena langsung berseberangan dengan taman mini dan air terjun buatan membuat otot yang tadinya menegang mulai melemas. Pemandangan yang ditawarkan di sana tak main-main. Soal pertamanan, mertuanya, maksudnya mantan mertuanya tidak pernah main-main. Kata Yasa dulu, ada orang-orang hebat yang mengaturnya. Di antaranya kenalan sang ayah.

Gemericik air seperti alunan musik pengantar tidur yang biasa Indira dengar. Tenang dan menghanyutkan. Jika tak ingat dirinya berada di mana, mungkin dia sudah memilih memejam. Menikmati buaian musik alam yang harmoni.

Indira duduk di kursi paling ujung yang terbuat dari kayu jati yang benar-benar tua, tepat menghadap ke air terjun. Sedangkan Yasa duduk agak jauh, sebuah sofa tunggal menjadi pilihannya. Tak ada percakapan setelah Dewi tiba-tiba menyeretnya masuk. Bahkan Dewi melupakan niat awalnya keluar rumah.

“Tuhan itu Maha Baik, lihat.” Seru Dewi kelewat semringah. “Saat Ibu ingin membeli soto, Indira datang membawanya tanpa perlu diminta. Kita seperti memiliki telepati.”

Yasa mendengkus, ibunya dengan semua kata-kata yang berbusa sudah menjadi ciri khasnya. Terlebih setelah lama merindu akhirnya hasrat Dewi terkabul juga, semakin membuatnya bahagia tiada tara.

“Ibu benar-benar merindukan masakanmu, loh, Ra.”

Dapur yang juga mengarah ke taman membuat Dewi leluasa mengoceh tanpa takut tak didengar.

“Indira bantu menyiapkan, ya, Bu?” sudah ketiga kali Indira menawarkan, tapi selalu ditolak.

“Sudah, kamu duduk saja. Sudah lama kan, enggak main ke sini? Katanya kangen taman ini. Silakan dinikmati sepuasnya.” Seloroh Dewi yang akhirnya mengundang senyum di wajah Indira.

Dewi tak membiarkan mantan menantunya menyibukkan diri. Dia sengaja menyuruh Yasa menemani Indira. Tapi dia sepertinya harus mencoba cara lain. Yasa sama sekali tak bisa diandalkan.

Dia senang sekali Indira mau datang ke rumahnya. Rasa rindunya pada perempuan itu sangat besar. Meski hanya terhubung sebagai menantu versus mertua, tapi hubungan kedunya seperti anak dan ibu. Tak ada jarak yang menjadi sekat di antara keduanya. Dewi seperti kecolongan saat Indira tiba-tiba datang padanya dengan berurai mata ingin berpisah dari Yasa, dua bulan sejak kepergian Janu.

Meski sangat dekat, menantunya itu tahu menempatkan diri. Mana yang harus dia ceritakan dan mana yang harus dijaga. Bahkan Dewi memarahi Yasa dan mendiamkannya saat lelaki itu justru mengabulkan keinginan Indira. Dewi tahu cinta di hati keduanya belum kandas. Karena itu begitu tahu Indira kembali, dia sangat senang.

“Tinggal nunggu nasinya matang. Ibu tinggal ke kamar mandi sebentar,ya?”

Tak perlu menunggu jawaban dari dua patung hidup di rumahnya. Dewi segera pergi ke kamarnya dan mengintip dari celah pintu yang sengaja tidak dia tutup rapat.

Sepeninggal Dewi, keadan tak banyak berubah. Angin dan rinai air masih menguasai arena. Ikan koi yang berenang seperti mengejek kebebasan keduanya.

“Kamu—“

“Kamu—“

Keduanya kembali terdiam, kali ini Yasa yang memulai.

“Kamu mau ngapain?”

Kening Indira mengernyit, “Aku ke sini mengunjungi ibumu. Memangnya mau ngapain?”

Indira menatap Yasa yang masih menatapnya juga. Seakan dia adalah seorang penjahat yang harus diawasi. Risih karena terus ditatap penuh curiga, Indira akhrinya berdiri, membuat Yasa seketika mendongak.

Indira pura-pura tak melihat, dia justru berjalan mendekat. Membuat Yasa yang tadinya duduk bersandar kini menegakkan tubuh.

“Aku cuma mau ambil pakan ikan koi. Kenapa kamu tegang begitu?”

Ah, lagi-lagi Yasa terkena jebakan mantan istrinya. Lelaki itu melirik air terjun dan mengabaikan Indira yang sibuk menaburkan makanan ikan di tepi kolam.

Dengan menggunakan terusan putih berlengan pendek, membuat Indira bagai bidadari yang sedang bermain di sungai. Dan Yasa seperti si Jaka Tarub yang tengah mengintai selendang si bidadari. Ah, kisahnya dengan Jaka Tarub hampir sama. Sama-sama ditinggal oleh istrinya. Jika Jaka Tarub bersalah karena sudah berbohong dan menyembunyikan selendang bidadari. Maka Yasa bersalah sudah membuat hidup bidadarinya hancur.

Kepala Yasa jadi penuh pertanyaan. Andai waktu itu Jaka Tarub mengambil dua selendang, apakah akhir kisahnya akan sama?

“Di rumah sendiri, kamu semakin rajin berdiam diri rupanya.”

Yasa menoleh pada Indira, seruan perempuan itu menyadarkannya dari bayangan Jaka Tarub dan bidadarinya.

“Apa maksudmu?”

Indira berdiri dan mengembalikan pakan ikan ke tempatnya. “Aku tamu di sini. Tapi kamu sepertinya lupa tata cara menjamu tamu yang baik. Apa karena malam itu?”

Lagi-lagi Yasa tak bisa berkutik. Tebakan Indira melesat tepat di dadanya. Tanpa bersuara, dia lalu berdiri dan berjalan melewati Indira yang masih berdiri tak jauh dari tempat Yasa duduk. Lelaki itu menuju dapur dan membuat sesuatu.

“Ini, minumlah.”

Indira tersenyum menerima tawaran Yasa. Dia mengambil cangkir dari tangan Yasa dan menghidu aroma melati yang menguar.

Kamu bahkan masih ingat minuman kesukaanku.

Indira tak terburu-buru untuk meneguknya, dia seperti menikmati sekali tehnya. Jarang sekali dia mendapat kesempatan yang sudah lama tak dia peroleh. Indira segera duduk di kursi dekat kolam sambil membawa cangkir di tangan kirinya. Saat dia terduduk, kakinya menginjak lantai yang sedikit basah. Tubuhnya tak sampai terjatuh. Tapi cangkir di tangannya goyah, menumpahkan sedikit isinya ke baju depan dan tangannya.

“Aw, panas!”

“Kamu baik-baik, saja? Mana yang sakit?”

Refleks Yasa mendekat dan meraih cangkir di tangan Indira. Tangannya segera menelusuri jejak air yang membasahi legan Indira. Khawatir mengakibatkan luka bakar.

“Tidak apa-apa. Jangan teruskan.”

Yasa menyadari kesalahannya. Dia menarik tangannya dan bergumam. “Maaf.”

Mereka terbelenggu kikuk, Yasa akhirnya mundur beberapa langkah. “Ada yang sakit? Sebentar, aku ambilkan obat.”

Indira tak dapat mencegah kepergian Yasa. Senyumnya terbit, menyadari perhatian kecil barusan sudah lama tak dia rasakan. Raut gelisah dan khawatir Yasa membuat dadanya menghangat. Indira mendesah dalam hati, jika luka fisik bisa membuat Yasa peduli padanya. Kenapa tak sedari dulu dia lakukan? Indira menebak, mungkin itu juga yang dilakukan Meta. Karena Yasa selalu mengkhawatirkan sahabatnya dicelakai oleh Bram.

Tak sampai lima menit, lelaki dengan kaus abu-abu muda itu kembali dengan langkah tergesa. Segera Yasa menarik Indira menuju dapur dan menyiram tangannya dengan air. Lalu dia mengeringkannya dengan tisu dan mengolesnya dengan salep.

Indira hanya diam melihat Yasa memperlakukannya dengan lembut. Rona merah di tangannya tak lagi berarti.

“Terima kasih,” ucap Indira tulus.

Sebagai orang yang pernah terluka, berterima kasih adalah satu-satunya cara yang bisa dia berikan untuk membalas kebaikan orang lain.

“Apa masih sakit?”

Ingin sekali Indira berkata, tidak apa-apa. Tapi sudut hatinya berbisik lain.

“Hmm, lumayan. Perih juga ternyata.” Indira mengingat-ingat bagaimana rasanya tersiram air panas.  Semoga dia tak terlihat mencurigakan.

“Apa perlu dibawa ke dokter?”

“Tak perlu. Nanti juga sembuh sendiri. Aku sudah terbiasa terluka.”

Indira menggeleng. Bukan karena takut kebohongannya terkuak, tapi luka bakar yang tak seberapa ini tak perlu perawatan medis serius. Indira menikmati saat Yasa menatapnya cukup dalam.

“Sayang, kamu di mana? Kita makan sing bareng, yuk?”

Yasa dan Indira mengangkat wajahnya saling menatap. Keduanya menoleh ke sumber suara dan menemukan seseorang di sana.

“Kalian, ngapain di sini?”

-o0o-

Jum'at 5 Agustus 2022
Vita

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang