15. Pertikaian Kecil

1.3K 197 11
                                        

Please, Ra.  Apa sih, yang ada di kepalamu?”

Uti berdiri di depan kulkas dengan berkacak pinggang. Tak ada senyum di wajahnya.

“Aku hanya mencoba.”

“Tapi enggak masuk ke kandang buaya juga.” Suara Uti masih ketus,  dia tak habis pikir dengan ide Indira yang mengundang mantan suami ke rumahnya.

Indira tak menggubrisnya. Perempuan itu duduk di kursi meja makan menekuri ponselnya yang menyala. Matanya tak beralih sedikit pun. Dia sibuk mengurus keperluan acara pengajian besok.

“Ra!”

“Hemmm.”

Indira tetap tak melihatnya. Uti akhirnya berjalan mendekat dan mengambil duduk tepat di hadapan Indira.

“Ra,”

“Apa,  sih,  Ti? Aku lagi nego makanan, nih. Bentar, dikit lagi.”

Uti tak lagi bersuara. Dia menempelkan dagunya di meja dan menatap Indira yang terlihat sibuk. Lima belas menit kemudian Indira meletakkan ponselnya di meja makan dan menatap mata sahabatnya. Keduanya saling pandang dalam diam. Tak ada kata yang keluar untuk mengawali percakapan.

“Apa?” Indira bertanya setelah bosan menunggu Uti tak segera berbicara.

“Kamu serius mau ngundang dia?”

Indira mengangguk mantap. “Kamu lihat sendiri, kan, bagaimana mantan mertuaku kemarin?”

Dia tak akan lupa tentu saja, bagaimana Indira begitu dekat dengan ibunya Yasa. Bahkan mereka tak peduli dengan status hubungan keluarga yang terputus karena perceraian. Uti salut dengan orang tua yang seperti itu. Masih mau menghargai seseorang tak peduli memiliki hubungan atau tidak.

“Aku lelah terus berlari dari kenyataan. Aku bosan berteman luka.”

“Aku tahu, Ra. Karena itu aku selalu menemanimu.”

“Tapi kenapa kamu sekarang melarangku menjalin hubungan baik dengan dia? Kamu ingat, kan, kamu sendiri yang bilang aku harus berdamai dengan masa lalu?”

“Tapi enggak gitu juga caranya, Ra. Ada banyak cara untuk berdamai. Kamu enggak harus menjerumuskan dirimu ke jurang yang sama.”

“Salah ya, kalau aku berbaikan dengan dia?”

“Enggak salah, tapi caramu yang salah. Ra, kamu lupa, apa yang Yasa katakan di makam Janu kemarin? Dia mau menikah.  Mau punya keluarga baru. Kamu mau jadi pelakor?”

“Aku bukan pelakor.”

“Intinya sama saja, merebut lelaki orang lain. Merebut calon suami orang. Apa namanya kalau bukan pelakor? ”

“Ini beda, Ti. Beda!” Indira berusaha tetap tenang meski dalam tekanan. Suaranya lantang tapi tak sampai berteriak. Ada nada ketegasan dan tak ingin dibantah.

Tidak ada yang pernah tahu, bagaimana seseorang bisa berubah karena sesuatu. Entah karena waktu, sebuah peristiwa atau seseorang. Dan Indira mengalami ketiganya sekaligus. Hanya saja, perubahan Indira terlalu cepat.

“Sama aja.” Uti mulai menegakkan tubuh dan bersandar mendekap dada.

“Aku hanya ingin memastikan. Aku ingin tahu apakah dia masih memiliki rasa itu. Hanya itu.” Lirih Indira meyakinkan.

“Aku enggak percaya.”

“Kamu enggak tahu rasanya dikhianati, Ti. Kamu enggak akan mengerti apa yang aku rasa.” Indira menyerah. Dia tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi.

“Oke, aku pergi.”

Uti tak menghiraukan tatapan sendu Indira. Dia berjalan meninggalkan Indira yang masih membeku, terkejut dengan sikapnya. Uti tak peduli. Dia menuju kamar dan membereskan barang-barangnya. Tak sampai tiga puluh menit dia keluar dengan ransel di bahu kanannya.

“Aku pulang.”

“Kamu mau meninggalkan aku sendirian?” Indira bertanya tak percaya. Ini bukan pertengkaran pertama mereka, tapi tetap saja dia tak menduga Uti akan semarah ini.

“Kalau pendapatku tak lagi penting, buat apa aku bertahan.”

“Ti, ayolah. Kali ini aja, kamu ngertiin aku.” Indira berjalan mendekat berharap dapat menggenggam jemari Uti tapi sahabatnya memilih mundur. Indira menghentikan langkah dengan mata sayu.

“Aku sudah sering ngertiin kamu. Sekarang aku mau fokus dihidupku. Terserah kamu mau ngapain, itu hak kamu. Aku bukan siapa-siapa dan tak berhak melarangmu. Aku pamit.”

“Tega kamu, Ti!” Indira berteriak diiringi air matanya yang berjatuhan. “Kamu sudah enggak menganggapku saudara?”

Uti terdiam, dia akhirnya memilih tak menjawab dan berpaling.

“Oke, kalau begitu, silakan pergi. Hati-hati di jalan.” Indira tak lagi menatap Uti yang berubah menjadi orang lain malam ini. Dia kecewa, orang yang selalu ada di sisinya tak lagi menjadi tempatnya bersandar.

“Mungkin kali ini kamu merasa berhak melakukan apa yang ingin kamu lakukan itu. Tapi ingat, jangan menjadi penghalang karma yang mungkin sudah disiapkan Tuhan untuk dia, hanya karena keegoisanmu sendiri. Kamu ingat kan, kamu selalu berdoa semoga mereka mendapat karma? Jangan sampai Tuhan melempar karma itu padamu.”

-o0o-

“Makanannya enggak enak, ya?”

Yasa mengerjap lalu menggeleng. Dia meraih satu sendok nasi dan melahapnya. “Enak, enak, kok.”
Meski Yasa kembali menyantap makan malamnya dengan lahap, Meta bisa menangkap ada yang mengganjal pada calon suaminya.

“Kamu kenapa? Ada yang mengganggu pikiran kamu, hmmm?” Jemari berkuteks merah menyentuh kening Yasa dan mengusap pelan.

“Aku hanya sedikit gugup.” Yasa tidak sepenuhnya berbohong. Sejak pertemuannya siang tadi di panti asuhan jantungnya bekerja tidak karuan. Dia tidak tahu pasti apa penyebabnya. Entah karena pertemuannya yang tanpa sengaja atau karena undangan tak terduga dari Indira. Yang pasti, dia lega melihat senyum terpatri di wajah tirus Indira.

Meta mengambil air putih dan memberikan pada Yasa. “Sa, kamu bukan lagi perjaka.” Tawa Meta berderai, tapi tak cukup mengundang Yasa untuk membalas. Biasanya, mendengar celetukan Meta membuatnya senang. Tapi kali ini terasa berbeda.

“Ya, justru karena aku bukan perjaka, aku jadi gugup, Ta. Aku takut gagal lagi.”

Kali ini Yasa benar-benar serius. Dia memang tidak gugup karena pernikahan. Tapi dia serius dengan ketakutannya. Meski perceraian sebelumnya Indira yang meminta, tetap saja di mata dunia dia telah gagal menjadi suami.

Stop! Jangan bahas itu. Aku yakin kamu enggak akan gagal. Indira aja yang kurang bersyukur memiliki kamu. Biar waktu yang menghukumnya dan membuatnya menyesal. Seperti aku dulu.”

Wajah ayu itu mulai sembab. Yasa segera meraih tangan calon istrinya dan menggenggamnya erat.
“Meta, Sayang. Kamu perempuan hebat. Kamu bisa bangkit dari luka yang Bram beri.”

Meta mengangguk berulang kali. Dia tak pernah berhenti bersyukur masih memiliki Yasa. Lelaki yang selalu ada di sisinya dari dulu hingga sekarang. Persahabatan keduanya terbukti sangat kuat, bahkan segera terikat. Meta mengangkat wajah dan menatap Yasa yang masih terpaku di depannya.

“Kamu tahu, aku tak pernah berhenti berterima kasih pada Tuhan masih diberi kesempatan memilikimu, Sa. Bahkan Tuhan memberiku hadiah dengan menjadi wanita spesial di hidupmu. Aku enggak mau kehilangan kamu lagi. Cukup sudah kebodohan kita di masa lalu. Kamu janji kan, enggak akan pergi dariku?”

Yasa menatap Meta dengan lembut dan membawanya ke pelukan. Mana bisa dia mengabaikan sahabat yang kini akan menjadi istrinya demi seseorang di masa lalu yang bernama mantan.


-o0o-

Waduh, Mbak Astuti marah, nih. Kasihan Indira jadi sendirian...

Selamat menuju siang
8 Juli 2022
Vita

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang