6. Takut atau Tidak Berani

1.3K 193 7
                                    


Hampir semalaman Indira tak dapat tertidur. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dari sahabatnya.

Benar kah dia cemburu?

Bibir merah muda itu tersenyum mengejek. Perasaan itu sudah lama dia rasakan. Jauh sebelum dirinya hamil. Dan dia seperti dilatih untuk terbiasa dengan perasaan itu. Hingga tak dapat lagi membedakan antara cemburu dan rindu.

Rindu.

Satu kata yang membuat matanya mengerjap. Kata itu tiba-tiba mengusik perasaannya. Apakah dia merindukan mantan suaminya?

Huft! Bagaimana bisa dia memupuk rindu pada orang yang menyakiti hatinya?

Indira menyangkal pertanyaannya sendiri.

Sepertinya pendapat Uti masih perlu ditinjau. Dia salah menganalisa perasaannya. Ah, tentu saja. Mana tahu dia tentang isi hatinya. Mereka berbeda tubuh. Berbeda jiwa. Berbeda pula jalan hidupnya.

Berbicara tentang jalan hidup, Indira ingat betul bagaimana mereka  pertama kali bertemu hingga menjadi semacam saudara tanpa ikatan darah. Menjadi dekat dan saling memahami satu sama lain. Melebihi saudara, kata orang-orang.

Tumbuh di lingkungan yang sama, menjadi salah satu penyebab keduanya semakin dekat. Awalnya  mereka hanya sebatas teman sekelas di bangku sekolah dasar. Uti yang Indira kenal saat itu adalah anak pindahan  yang berani dan pemarah. Tipikal anak perempuan yang tomboi.

Indira ingat, saat itu dia menangis di depan toilet karena anak-anak cowok menertawakan roknya yang basah. Mereka meledek dia mengompol karena bagian yang basah tepat berada di belakang pantatnya. Indira kecil tak dapat menutupi rasa takut dan malunya. Sebagai anak yang pendiam dan penurut, tentu perundungan yang sederhana dapat membuatnya ketakutan.

Tiba-tiba saja Uti datang menyeret Indira menjauhi teman-teman. Dia membawanya pergi tanpa banyak berkata. Begitu tiba di dalam kelas, Uti melepas genggaman tangannya.

“Kalau tidak mau mendengar ejekan mereka. Menjauh lah.” Setelah itu Uti meninggalkan Indira yang termenung di bangkunya. Senyum di bibir Indira terbit, menyadari teman sebangkunya kali ini berbeda.

Persahabatan mereka kian erat, terlebih sejak Indira tahu kalau Uti tinggal di panti asuhan tak jauh dari rumahnya. Uti pernah bilang, dia harus tinggal di panti karena saudaranya banyak. Indira semakin menyayangi Uti, karena sama-sama merasa sendirian.

Hingga saat mereka duduk di bangku menengah atas, Indira ikut tinggal bersama Uti. Rumahnya harus dijual untuk membayar hutang ayahnya yang minggat dengan janda depan rumah. Sedangkan ibunya tak cukup uang untuk menyewa kontrakan. Uti lah yang menjadi penolongnya. Gadis itu menawarkan tinggal bersama dan membantu berbicara dengan pemilik panti. Pemilik panti setuju asal ibunya Indira mau membantu merawat panti yang tak seberapa luasnya tapi memiliki banyak penghuni.

Indira dan ibunya mau-mau saja. Mereka sudah mendapat tumpangan tidur dan makanan yang enak walau sederhana. Bahkan setelah satu bulan, kepala panti mempercayakan urusan makanan pada ibunya. Ibunya tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan menjual satu-satunya cincin yang dia punya, dia meminta izin  menumpang memasak beberapa kue dan jajanan  untuk dijual.

Mereka menghabiskan masa remaja berdua dengan berdagang masakan ibunya Indira. Dari hasil menjual jajanan, Indira dan Uti yang sudah dianggap anak oleh ibunya, bisa meneruskan sekolah. Bahkan Indira mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi. Hanya saja, saat Indira lulus sekolah menengah atas, ibunya mulai sakit-sakitan. Dia tidak tega meninggalkannya sendirian. Walau Uti bersikeras akan menjaga ibunya, Indira tak ingin terlalu membebani sahabatnya.

Uti harus bekerja untuk bertahan hidup. Tidak mungkin dia mengandalkan pihak panti, mengingat dirinya sudah cukup usia untuk mendapatkan pekerjaan. Dia juga tak ingin dan tidak pernah diminta kembali oleh keluarganya. Dia menyebut dirinya anak yang dibuang.

Mereka berdua akhirnya memutuskan merawat Ibu bergantian. Indira mengikuti jejak Uti bekerja di tempat yang sama. Satu tahun kemudian ibunya meninggal. Karena tidak ada lagi yang membuatnya bertahan di tempat itu, Indira dan Uti memilih pergi dari panti dan tinggal di sebuah tempat kos yang sederhana. Dan kehidupan keras mereka barulah dimulai.

-o0o-

Seperti  janjinya kemarin, Uti menemaninya kembali bertemu Janu. Kali ini Indira tak membawa apa-apa. Dia hanya ingin bertemu. Menuntaskan kerinduan  yang dia tahu tidak akan pernah selesai.

Matahari belum terlalu kuat membakar kulit, tapi sinarnya menyakitkan mata. Indira bahkan harus menyipit selama duduk di boncengan Uti. Meski memakai helm, selain silau, debu di jalanan juga mengganggu matanya.

“Kamu enggak ada niatan untuk pulang, Ti?” tanya Indira memecah keheningan yang mendera. Mereka membelah jalanan dengan kecepatan rendah. Selain tidak ingin mengebut, Uti juga ingin sekalian menikmati pemandangan. Lebih tepatnya mengenali lekuk kota ini.

“Pulang ke mana?”

“Ya, ke rumah orang tuamu.” Setengah berteriak Indira mendekatkan bibirnya ke telinga Uti yang tertutup helm.

“Ah, nggak asik kamu, Ra. Udah tahu aku anak buangan, masih juga nyuruh pulang.” Uti menjawab juga setengah berteriak. Mereka seperti berbicara saling berjauhan, padahal tubuh mereka tak berjarak. Dengan nyaman Indira memeluk perut Uti, menyandarkan dagu ke bahu kiri.

Tak lagi ada yang meneruskan  percakapan. Indira kehabisan kata-kata, dia hanyut dalam rayuan Uti untuk menikmati pemandangan dari pada membicarakan sesuatu yang tidak penting.

Kurang dari lima belas menit mereka tiba. Kali ini tak ada keraguan dalam langkahnya. Bahkan perempuan itu setengah tergesa berjalan memasuki pemakaman. Aroma kamboja menusuk penciumannya. Indira menghidu kuat-kuat, menyimpannya dalam dada.

Tak banyak pengunjung yang dia temui. Pagi menjelang siang bukanlah waktu yang tepat untuk berziarah. Tapi Indira menyukai suasana seperti ini. Berteman sepi. Menuntaskan hasrat rindunya yang tak pernah habis.

Asem, giliran dah nemu yang dituju, aku dilupain.” Uti berbicara dengan napas tersengal. Dia baru saja berjalan setengah berlari karena tertinggal jejak Indira. Perempuan itu hanya memarkirkan motornya dan memastikan terkunci dengan benar sebelum menyusul Indira. Tapi dia tak menemukan Indira di dekatnya.

Uti bisa saja langsung menuju pusara Janu. Dia masih ingat di mana letaknya. Tapi untuk berjalan sendirian di pemakaman umum? Uti memilih angkat tangan. Lebih baik dia berseteru dengan segerombolan manusia julid dari pada bertemu makhluk tak kasat mata. Dia tidak takut setan. Tapi dia tidak mau bertemu setan. Setan tidak bisa diajak saling mengolok, apalagi dipukul.
Uti memukul kepalanya yang mulai kehilangan fokus saat tak sengaja menabrak punggung Indira yang membeku.

Takut dan tidak mau bertemu adalah hal yang sama tapi berbeda. Tapi jika tentang masa lalu, apakah akan sama artinya?

Seperti yang dia temukan tak jauh dari tempatnya berdiri.

Di sana, kurang dari sepuluh  meter jauhnya. Yasa berdiri membawa seikat balon warna-warni.

Sendirian.

Tak ada Meta di sisinya. Atau mungkin perempuan itu menunggu di luar? Tapi seingatnya, dia tak menemukan kendaraan lain. Uti menatap Indira yang masih membeku.

“Kamu takut atau tidak berani bertemu dia?"

-o0o-

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang