Lama sekali Indira tidak merasakan nikmatnya makan. Semangkuk soto ayam dengan sambal dan perasan jeruk nipis juga taburan koya tiba-tiba mengundang liurnya. Soto favorit sejak pertama kali dia datang ke kota ini sebagai seorang istri.
“Ada lagi yang dibutuhkan, Ra?” Suara Uti menyadarkan lamunan Indira. Perempuan itu melirik troli belanja dan berusaha mengingat bahan apa yang kurang.
“Sepertinya cukup. Yuk, kita ke kasir.”
Dengan penuh semangat Uti mendorong troli belanja dan tersenyum senang. Memutari supermarket di jam belanja malam bukanlah hobinya. Dia lebih senang datang saat orang-orang masih sibuk bekerja atau saat mendekati waktu tutup. Alasannya sederhana, dia tidak mau antri. Terlebih sejak Indira tinggal bersamanya, berbelanja merupakan pekerjaan yang harus punya waktu khusus. Indira yang Uti kenal adalah sosok yang teliti dan cermat dalam berbelanja. Untuk membeli saus tomat saja, Indira bisa menhabiskan sepuluh menit untuk memilih, menimbang dan menentukan saus mana yang akhirnya dia beli.
Langkah tegap Uti mendadak terhenti tanpa aba-aba membuat Indira yang berjalan di belakang menabrak punggungnya. Uti mengaduh lirih sembari mengusap kening.
“Aduh, Ra. Aku lupa beli pembalut. Puter lagi, yuk?” Uti setengah menyeret Indira meski perempuan itu belum sepenuhnya mengerti kenapa dia memutuskan kembali ke rak-rak yang berjejer. Begitu tiba di depan deretan barang wajib yang harus tersedia setiap bulannya bagi seorang perempuan, Uti justru kebingungan. Dia mengambil acak dan pura-pura membaca keterangan.
“Uti, kamu yakin mau ambil yang merk itu?”
“Ya. Kenapa, Ra?”
Ragu Indira menatap wajah Uti yang seperti menahan sesuatu. “Kamu alergi sama yang merk itu.” Mendapati wajah Uti yang memucat, Indira memegang pundak sahabatnya. “Sebenarnya ada apa sih, Ti? Bukannya tadi kamu yang ngotot pengen pulang?”
Hampir saja Uti mengeluarkan suaranya, tapi tertahan di tenggorokan.
Tidak.
Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Dia yang bukan siapa-siapa orang itu saja sakit hati melihatnya. Apalagi Indira?
“Ti....”
“Beneran, Ra. Aku tiba-tiba kepikiran inget tanggal. Makanya sampai bingung pilih pembalut. Tahu sendiri kan, aku biasanya nyetok di kos. Tapi kan, sekarang kita di rumahmu. Mana sempet nyetok aku.” Meski sedikit terbata, Uti berhasil meyakinkan Indira. Tapi kepalanya masih memberikan sinyal alarm.
“Ra, sepertinya kamu harus beli lem tikus, deh. Tadi aku enggak sengaja lihat tikus di deket dapur.”
Kerutan di kening Indira semakin menumpuk.”Masa, sih? Perasaan enggak ada tadi.”
“Udah, deh beli aja. Buat jaga-jaga juga.”
Meski tak yakin dengan ucapan Uti, Indira tetap mencari rak berisi barang yang dicarinya. Sambil berjalan, dia mencuri pandang ke wajah Uti. Menebak dalam hati, apa yang membuat Uti menyeretnya dari barisan kasir.
Apakah Uti melihat seseorang?
-o0o-
Dapur yang mengepul di pagi hari adalah pemandangan yang indah. Indira merindukan suasana dapurnya. Rasanya dia terlalu lama meninggalkan rumah ini. Kompor yang menyala, suara minyak yang menenggelamkan ayam dan aroma masakan yang menguar, membuat Indira memejam. Dia menghidu udara yang terkontaminasi itu dengan senyum merekah.
Tak lama suara derap langkah terdengar semakin jelas. Sepasang tangan memeluknya dari belakang dan membisikkan ucapan selamat pagi penuh cinta. Indira berdebar dan seketika menoleh.
“Ra?”
Dua ayam yang berwarna hitam menjadi pemandangan pertama yang Indira lihat setelah membuka mata. Dengan tergesa dia mengangkat ayam yang sudah gosong. Bibirnya berdecak, bisa-bisanya dia melamun saat memasak. Ini pertanda buruk!
“Kamu baik-baik saja?”
Ada nada khawatir yang Indira tangkap, dia menggeleng memberi jawaban. “Aku baik-baik saja, Ti. Tadi aku tiba-tiba ingat saat memasak bersama Janu.”
Senyum Indira yang merekah, membuat Uti tak lagi bertanya. Perempuan dengan piyama hitam bermotif kopi itu berjalan mengambil minum. Setelah membasahi tenggorokannya, dia menatap Indira yang masih berkutat dengan ayamnya yang gosong.
“Nanti jadi ke tempat Janu jam berapa?”
Wajah yang tengah serius menatap wajan itu menoleh. “Sepertinya sore. Aku mau buat kue dulu.”
Masih dengan wajah khas bangun tidurnya, Uti mengangguk. Dia mendekat ke sisi kiri Indira, turut mengawasi masakan. “Masih lama, kah sarapannya? Aku lapar.”
Tanpa basa-basi Uti menodong Indira. Hal itu sudah lumrah bagi keduanya. Hidup satu atap selama enam bulan belakangan, kedekatan yang sempat terpisah beberapa tahun kembali menguat.
“Tinggal goreng sambal doang. Kenapa? Mau bantuin?”
Uti mencebik. Tangannya berkacak pinggang. “Kalau mau dapur kesayanganmu rusuh, aku mau aja bantuin.”
Dengan cepat Indira menggeleng. “Yang ada aku masaknya makin lama.”
“Nah, itu tahu. Dah lah, aku nyapu aja di depan. Sekalian pangkasin mawar.” Uti berbalik meninggalkan dapur tapi Indira segera mernyahut.
“Nanti potongan bunga mawarnya jangan dibuang, ya? Mau aku bawa ke Janu.”
Uti mengangguk dengan mata berkaca. Sangat mengerti bagaimana perasaan Indira walau dirinya belum pernah berada di posisi dia.
Tenang aja, Ra. Akan aku pilihkan bunga yang bagus untuk pangeranmu.
Tepat pukul empat sore mereka membelah jalanan. Sedikit terlambat dari rencana karena Indira lupa membeli korek api. Hal sepele tapi sangat fatal jika tidak ada. Dengan motor matic hitamnya, Uti mengikuti arahan Indira. Tidak sampai lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat yang dituju.
Aroma kamboja seketika menyapa keduanya begitu memasuki pemakaman. Deretan nisan yang berjejer seakan menjadi pengingat, jika di sini lah akhir dari kisah hidup kita.
Indira melangkah perlahan dengan menggenggam erat lengan Uti. Sementara tangan kanannya menenteng sebuah kotak. Mereka berjalan menuju area pojok belakang makam.
Saat melihat nisan hitam itu, kaki Indira bergetar. Begitu juga tangannya yang mendadak termor. Berkali-kali perempuan dengan terusan hitam selutut itu berhenti hanya untuk menarik napas dalam. Matanya terpejam untuk beberapa detik saat bayangan itu kembali hadir.
“Ra, kamu pasti bisa. Ayo, dikit lagi. Janu udah nungguin kamu.”
Bisikan Uti menyadarkan Indira jika dirinya tidak sendirian. Dia mengangguk dan kembali berjalan dengan wajah menatap lurus ke depan. Dadanya berdebar dengan deru napas yang kian memburu begitu nisan itu semakin dekat.
“Ra, ayo.”
Indira melangkah sangat pelan. Begitu tiba di depan makam Janu, tubuhnya lemas. Dia terhempas ke tanah dan hampir menjatuhkan kotak di tangan. Dengan sigap, Uti memegang tubuh Indira dan menahannya agar tidak ambruk ke belakang.
“Ra...” hanya kata itu yang sanggup keluar dari bibir Uti. Mulutnya tak lagi bisa bersuara saat mendapati air mata Indira mengalir sangat deras. Dia hanya bisa memeluk dan pengusap punggung sahabatnya.
Tanpa suara Indira meratapi pemilik makam di depannya. Berpuluh kata seandainya memenuhi kepalanya. Tanpa kata dia meraih kotak di sampingnya dan membukanya. Sebuah kue sederhana yang dia buat siang tadi tersaji dengan indah. Uti segera mengambil lilin dan menyalakannya.
“Happy birth day, Sayang. Selamat ulang tahun yang pertama.”-o0o-
KAMU SEDANG MEMBACA
EPILOG
RomansaPertemuan tak terduga dengan mantan suami tiba-tiba membuat Indira meragukan keputusannya berpisah dengan Yasa. Terlebih sang mantan membawa perempuan yang menjadi penyebab perpisahan mereka sebagai calon istri. Hati Indira membara. Seperti dendam...