Langkah Indira sangat cepat begitu motor matic Uti berhenti di depan gerbang. Dengan tangan gemetar Indira membuka kunci. Berkali-kali kunci yang dia pegang jatuh. Berkali-kali pula, bibirnya bergetar mengembuskan napas kasar.
“Ra,”
Indira tak menyahut, mulutnya membisu. Dadanya masih naik turun ketika pintu gerbang berhasil dia buka. Tanpa menunggu sahabatnya masuk, dia lebih dulu membuka pintu utama. Kali ini tanpa drama kunci jatuh meski getaran hebat di tangannya tak kunjung berhenti.
Uti yang masih menutup pintu gerbang tak lagi Indira hiraukan. Langkahnya memilih melesat ke kamar tanpa menunggu sahabatnya masuk terlebih dahulu. Atau sekedar sebaris kalimat pamit. Indira tak peduli. Dia hanya butuh menyendiri detik ini juga.
Dia butuh menyelesaikan tangisnya. Menguras air matanya.
“Ra, kamu—“
Langkah Indira terhenti di depan pintu kamar tamu yang menjadi tempatnya tidur semalam. Dia menarik udara di sekelilingnya dengan kuat sebelum menoleh pada Uti.
“Kamu... baik-baik saja?”
Uti tidak yakin pertanyaannya tepat. Tapi hanya itu yang keluar dari bibirnya. Tangan kanannya yang bebas masih menggenggam kunci motor sedang tangan kirinya meremas ujung kemeja.
Indira memaksakan senyum walau terlihat kaku. Pipinya seperti disemen, tak bisa bergerak walau dia ingin. Kedua matanya tak bersinar sangat jauh berbeda ketika sebelum berangkat ke tempat peristirahatan terakhir Janu.
“Please... Biarkan aku sendiri dulu.”
Tanpa penjelasan lebih lanjut, Uti paham apa yang dibutuhkan perempuan yang berdiri dengan terusan hitam tak cukup jauh darinya. Uti mengangguk mengerti seakan mengizinkan Indira mengambil waktu yang dia butuhkan.
Tubuh Indira menghilang di balik pintu tepat ketika anggukan Uti berhenti. Uti menatapnya dengan napas gusar, dia melempar pelan dan memainkan kunci motor yang beradu dengan gantungan kerajinan batok kelapa bertuliskan nama salah satu provinsi di Indonesia yang sangat kental dengan sistem kerajaannya.
Tubuh jakungnya mendarat di sofa ruang keluarga dengan malas. Dia tidak ingat harus melakukan apa. Walau Indira sudah menyuruhnya mengangap rumah ini seperti rumahnya sendiri, tapi tetap saja dia merasa asing. Uti seperti menemukan bayang-bayang Yasa di mana-mana.
Kepalanya menoleh menatap sesuatu di sebelah televisi. Matanya menyipit mengenali benda tersebut. Ketika dia menyadari apa yang dia lihat, matanya semakin membesar.
Pantas saja dia seperti di awasi Yasa, ternyata foto lelaki itu masih tertinggal satu di sana. Gambar Yasa dengan Indira saat mereka awal-awal pacaran terbungkus dalam bingkai kecil. Uti yakin Indira lupa. Tak mungkin dia sengaja menyisakan jejak lelaki itu. Sebelumnya rumah ini bertebaran foto mereka, kini bersih dari gambar lelaki itu. Kata Indira, dia tidak membakar atau membuangnya. Perempuan itu hanya menyimpannya di kamar belakang yang dia jadikan gudang.
Kerutan di kening membuat tubuh Uti berjengit.
Menyimpan bukan berarti sengaja memelihara kenangan, bukan?
-o0o-
Mata Indira belum mengering ketika gemuruh di dadanya kembali mendorong ledakan air mata. Berkali-kali dia mengusap dengan kasar tapi air matanya tak kunjung berhenti. Dia tidak ingin menangis. Dia bosan menangis. Tapi kenapa tubuhnya tidak demikian?
Hanya kali ini saja. Sekali lagi.
Batinnya berikrar teguh. Meski tak yakin dia akan mengingkarinya lagi. Tak ada air mata yang dipaksa turun. Harus ada penyebab yang memancingnya keluar.
Ketukan di pintu kamar membuat Indira menoleh. Uti berdiri mengintip dengan pintu sedikit terbuka. Kepalanya menyembul dengan mata sendu menatap sahabatnya yang terbaring meringkuk seperti bayi.
“Ra, makan dulu, yuk?”
Indira tak mengangguk, dia mengambil tisu yang tersisa setengah. Mengeluarkan ingus dan menghapus sisa lelehan air mata.
“Kamu makan duluan. Aku enggak lapar.”
Sesaat Uti tak beranjak, kemudian dia melesak ke dalam kamar dengan langkah pelan. Setelah cukup dekat dengan Indira, dia mendaratkan pantatnya di tepi ranjang. Tangannya mengusap pundak Indira dengan lembut.
“Kamu ingat kataku di makam Janu tadi, Ra?”
Tak ada sahutan membuat Uti kembali meneruskan kalimatnya.
“Janu pasti sedih kalau melihat Mamanya sedih. Bergitu pula sebaliknya, dia akan senang kalau Mamanya bahagia.”
Indira memutar tubuhnya menghadap Uti. Wajahnya basah, matanya membengkak. Dia mengangkat kepala, mencari bantal dan menyangganya.
“Aku juga gak ingin nagis lagi, Ti. Tapi air mata ini nggak mau berhenti. Apa yang harus aku lakukan?”
Uti menatapnya lama, seakan mencari sesuatu. Menyelami kedalaman hatinya. Satu kata yang perempuan itu temukan. Tapi dia ragu mengutarakannya.
“Sebenarnya, apa alasan terkuatmu untuk menangis, Ra?”
Keduanya membisu. Uti tahu Indira kebingungan. Tapi dia tak ingin membuat sahabatnya berlarut dalam air mata yang sia-sia.
“Kamu marah karena Yasa membawa Meta ke makam Janu. Atau karena Yasa datang bersama perempuan itu?”
“Yang pertama,” balas Indira lirih. Dia memainkan jemarinya, enggan menatap Uti yang tak pernah melepas matanya.
“Jika hanya karena itu, bukan kah alasan Yasa tadi masuk akal? Dia akan menikah. Dan mengenalkan calonnya kepada anaknya. Kurasa alasan itu bisa diterima.”
“Kamu bisa bilang seperti itu karena kamu enggak tahu bagaimana mereka menghancurkan aku dan Janu, Ti. Gara-gara mereka aku kehilangan Janu. Gara-gara mereka aku kehilangan mimpiku. Apakah alasan itu belum cukup membuatku pantas marah padanya?”
Diamnya Uti membuat Indira bangkit dan duduk bersandar dengan bantuan tumpukan bantal. Keduanya tak saling tatap karena Uti lebih memilih menatap sekeliling kamar.
“Kamu... dendam dengan mereka?” tanya Uti hampir serupa bisikan.
Kedua alis Indira menyatu, dia tidak mengerti dengan pertanyaan itu.
“Aku bukan orang yang pendendam. Kamu tahu itu, kan?”
“Tapi sikapmu menunjukkan sebaliknya. Masih ada dendam yang belum selesai. Hatimu masih menyimpan luka yang terbuka, Ra.”
Indira tak menyahut. Dia memikirkan ucapan Uti dengan cermat. Kembali dia menelisik hatinya. Bukan kah dia sudah rela dan ikhlas melepas semuanya? Jika dia masih menginginkan pernikahan tentu dia akan bertahan. Tapi dia justru yang melepas semuanya.
“Apa kamu cemburu, Ra?”
Pertanyaan Uti membuat tubuhnya seperti dihunjam aliran listrik. Kepalanya seketika menoleh, menatap manik kelam milik Uti.
“Aku? Cemburu?” lirihnya serupa bertanya pada dirinya sendiri.
Benar kah dia cemburu?
Untuk apa?
Indira menggeleng perlahan. Hatinya berteriak jika dia tidak cemburu.
“Kamu pernah bilang, belum pernah mencintai lelaki begitu dalam kecuali Yasa. Hanya kepada dia kamu berani bertaruh menggantungkan hidup dan masa depan. Begitu hubungan kalian berakhir, aku yakin perasaan cintamu itu masih tertinggal di dasar hatimu.”
“Kamu tahu alasanku berpisah dengannya, kan? Jadi mana mungkin aku masih menyimpan perasaan pada orang yang sudah mengkhianatiku. Bodoh, kalau aku melakukan itu.” Indira masih teguh dengan pikirannya.
“Kemarahanku masih wajar, Ti. Karena di satu-satunya tempat yang paling spesial, dia membawa perempuan yang menjadi penyebab semua kekacauan ini terjadi. Apakah aku tidak boleh marah?”
Uti mengangguk mencoba mendalami perasaan Indira. Tapi tangisan perempuan itu? Uti tak yakin dengan prasangkanya.
“Kalau kamu marah, seharusnya kamu tak perlu menangis sedalam ini, Ra. Oke, jika saat kejadian karena luapan emosi, air matamu jatuh begitu saja. Tapi setelahnya? Apa yang kamu tangisi?”-o0o-
Kamu kenapa sih, Raaaaaaa??
Peluk erat...
Vita
KAMU SEDANG MEMBACA
EPILOG
RomancePertemuan tak terduga dengan mantan suami tiba-tiba membuat Indira meragukan keputusannya berpisah dengan Yasa. Terlebih sang mantan membawa perempuan yang menjadi penyebab perpisahan mereka sebagai calon istri. Hati Indira membara. Seperti dendam...