4. Menelusuri Jejak Luka

1.7K 252 16
                                    

Yasa tertegun mendapati kue ulang tahun dan sebuah mobil mainan. Lelaki itu baru menyadari setelah mantan istrinya pergi beberapa menit yang lalu. Sejak tadi dia hanya fokus pada gelegar aneh di dadanya. Keterkejutan membuatnya tanpa sadar berbicara yang bukan semestinya.

Menemukan seseorang yang mati-matian sedang dia lupakan bukanlah sebuah penutup hari yang baik. Terlebih pertemuan pertama mereka tidak di waktu yang tepat.

Bukan, Yasa bukan menyesali membawa Meta ke pusara anak semata wayangnya. Hanya saja, dia tidak menduga akan berakhir sengit seperti tadi. Yasa mengusap wajahnya dengan kasar. Ditutupnya rapat kedua mata dan bibir, dalam hening dia melantunkan doa-doa panjang untuk Janu.

Maafkan Papa, Sayang.
Sudah membuat Mamamu kembali menangis.
Tapi kamu pasti tahu, Papa menyayangi kalian.

Setelah hening cukup lama, Meta yang duduk di sisi Yasa menyentuh lembut lengan lelaki itu. Membuat Yasa membuka matanya dan menoleh. Meta memberikan sebuah senyuman manis seakan kejadian barusan tidak pernah terjadi. Dan itu salah satu yang disukai Yasa dari perempuannya, Meta tahu menempatkan sistuasi.

“Janu pasti bahagia, Sa. Dia juga pasti sedih kalau melihat Papanya bersedih.” Meta meletakkan lily putih yang digenggamnya  di pusara. Perempuan itu menatanya agar terlihat indah berdampingan dengan mawar putih yang  ia duga dari Indira.

Lesung pipi di wajah Meta semakin kentara kala perempuan itu tersenyum.  Tangan kanan Yasa terulur memeluk bahu Meta dan mengusapnya pelan.
“Terima kasih, Ta.kamu selalu ada untukku. Aku enggak tahu bagaimana hidupku tanpa kamu. Kamu malaikatku.”

Yasa tidak sedang berbohong atau merayu. Dia tulus mengatakannya. Bibirnya mengecup lembut pipi Meta yang tersipu. Jemari yang sebelumnya bersandar di bahu  kini beralih mengusap pelan pipi Meta  yang memerah.

“Sudah mulai gelap. Masih mau di sini atau kita pulang?”

Yasa mendongak sesaat lalu kembali mengecup singkat ujung bibir Meta. “Sebentar, aku mau ngomong dulu dengan Janu.”

Fokus lelaki itu beralih tanpa melepas pelukannya. Sekali lagi Yasa menutup mata dan berdialog dalam hati.

Kamu tetap cinta pertama Papa.

Papa berharap, kamu ikut bahagia dengan pilihan Papa, Janu.

-o0o-

Setelah mengantar Meta pulang, Yasa tidak segera kembali ke rumah. Dia justru memutar mobilnya menuju rumah mereka. Entah kenapa, perasannya sangat yakin jika mantan istrinya pulang.

Pagar tembok berlapis batu alam menjadi pemandangan pertama yang Yasa lihat. Matanya menelisik jauh ke dalam di sela-sela celah. Tak banyak yang dia temukan, tapi sinar lampu yang menyala menjadi pertanda jika dugaannya benar. Meski telah mendapat jawaban, lelaki itu tak beranjak. Dia seperti ditarik oleh sesuatu untuk tetap berada di sana.

Embusan napas dalam terdengar jelas, Yasa menggeleng ketika hasratnya untuk masuk ke rumah tiba-tiba muncul. Dia memutar kunci dan menyalakan mesin mobil.

Jika dia tetap di sini sesaat lagi. Dia tak yakin bisa bertahan untuk tidak menerobos gerbang yang tertutup rapat itu.

Dia harus pulang.

Begitu tiba di halaman rumah orang tuanya, Yasa mengembuskan napas lega. Dia seperti sedang kabur dari sesuatu yang mengejarnya. Yasa turun dari mobil dan melangkah masuk, tak dia temui siapa-siapa. Mungkin sedang keluar. Yasa melanjutkan langkah menuju kamarnya di lantai dua.

Bukan tanpa alasan dia memilih tinggal di rumah orang tuanya pasca bercerai beberapa bulan lalu. Sebenarnya dia sudah beberapa kali tinggal di apartemen, bahkan sebelum statusnya berubah menjadi duda. Hanya saja, permintan Ibu meluluhkan angkuhnya. Dengan berderai air mata, Ibu menyuruhnya tinggal di rumah mereka. Ibu tidak ingin Yasa melampiaskan lukanya dengan hal-hal yang buruk. Setidaknya Yasa masih terpantau saat malam. Dan lelaki itu masih punya keluarga.

Perpisahan dan kehilangan adalah dua hal yang meluluhlantakkan hidupnya. Bohong jika dia baik-baik saja. Meski bukan niatnya berakhir seperti ini, tapi Yasa tak berdaya. Saat apa yang sedang dia pertahankan memilih melepaskan diri.

Tiba di kamar yang dulu menjadi tempatnya menghabiskan masa kecil, Yasa segera membersihkan diri. Selepas menunaikan salat, dia tak segera turun untuk makan malam. Perutnya belum lapar.

Tubuh tegap itu terlentang di atas kasur, dengan kedua tangan menyangga kepala. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

Indira.

Nama itu mendesis keluar dari bibirnya tanpa suara.

Setelah berbulan-bulan, akhirnya mereka bertemu. Tak terduga. Bahkan dirinya belum siap dan dipaksa terlihat baik-baik saja. Yasa menyipit manakala rupa mantan istrinya tadi timbul tenggelam di kepalanya.

Perempuan itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Rambut panjang yang dulu menjadi favoritnya setelah menghabiskan malam panas, telah terpangkas hampir separuh. Wajah anggun itu tak nampak lagi. Berganti dengan wajah penuh luka dan juga amarah. Bahkan sorot mata yang dulu selalu memujanya kini berganti rasa muak dan juga tak terbaca.

Tak ada senyuman hangat untuknya. Yasa bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Indira tersenyum padanya. Tawa Indira bahkan sudah hilang dari telinganya. Dada Yasa mencelus, menyadari perubahan perempuan itu bukanlah tanpa alasan. Namun semua sudah berlalu dan mereka kini memiliki kehidupan masing-masing. Seharusnya mereka bisa lebih baik.

Yasa mengusap wajahnya dengan kasar. Dia terpejam beberapa saat lalu menggeleng. Sebegitu bencinya kah Indira padanya? Apakah kesalahannya teramat fatal di matanya?

Dia menggeleng, bukan kah semua orang juga punya kesalahan? Dia sendiri sedang belajar memaafkan dirinya dan juga mantan istrinya. Tapi kenapa perempuan itu tidak? Bagaimana pun, ketika sebuah pernikahan berakhir, bukan hanya satu orang yang harus dibebani rasa bersalah.

Ketika sepasang suami istri memutuskan untuk mengakhiri mahligai perkawinan, artinya mereka sepakat jika kapal yang mereka tumpangi tak lagi bisa sejalan. Meski ada drama di setiap keputusan yang diambil, tapi ketika tiga ketukan palu dari hakim mendengung di ruang sidang. Bukan kah itu artinya mereka berada di pintu keluar yang sama?

Sama-sama keluar dari kerumitan rumah tangga.

Tangan Yasa memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Pertemuan tak terduga telah membuatnya kembali membuka luka yang mulai mengering. Luka yang sudah dia tutup rapat kembali terkuak walau tak sepenuhnya. Lelaki itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Sudah cukup dia membuka tabir kenangan. Sudah bukan waktunya menelusuri jejak luka. Pilu yang pernah dia rasa bukan lah sesuatu yang harus diingat sepanjang waktu. Meski ada kalanya menjemput kenangan untuk dibawa ke masa kini, namun itu hanya lah sebatas sebagai pengingat. Bukan untuk dipelihara. Dia sudah melepas semua masa lalunya sejak meminta Meta menemani sisa hidupnya. Lalu apalagi yang membuatnya risau?

Yasa mengangguk perlahan dan duduk. Ya, dia sudah melepas masa lalu. Bukankah memang harusnya demikian?

Lantas apa yang membuat dadanya menjadi tidak nyaman?

-o0o-

Yasa : Yok, Neti, hujat aku.

Wkwkwk

Peluk erat buat kamu.

Vita.

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang