9. Ternyata Masih Sama

1.4K 215 5
                                    



Pada akhirnya Indira duduk berdampingan dengan Yasa di mobil lelaki itu. Dia sendiri tidak mengerti bagaimana bisa berakhir seperti ini. Karena tiba-tiba Yasa berdiri meminjam payung ibu penjual bunga dan pergi. Tak lama kemudian sebuah pajero putih berhenti di depan kios dan Indira mengenali mobil itu.

Yasa turun dari mobil dengan membawa dua payung. Satu di genggamannya, sedangkan satu payung lagi dia gunakan untuk menghalau tetesan air. Tiba di dalam kios tak berdinding di bagian depan, Yasa mendekati ibu penjual bunga. Menyerahkan payung dan mengucapkan terima kasih. Kemudian lelaki itu berjalan mendekatinya dan memberikan payung yang masih terbungkus.

“Ayo, aku antar kamu pulang.” Kalimat Yasa tak ubahnya sebuah perintah tapi dengan nada sedikit lembut. Indira tak punya pilihan lagi. Ada beberapa alasan yang membuat dia mengikuti langkah lelaki itu.

Mereka terjebak macet dengan diselimuti kebisuan. Tak ada suara radio atau lagu-lagu merdu seperti yang biasa lelaki itu lakukan. Dulu maksudnya. Indira menggigit lidahnya sendiri karena kesal pada dirinya yang selalu saja membandingkan lelaki di sampingnya. Demi Tuhan mereka sudah bercerai!

“Aku minta maaf sudah membuatmu takut dengan ojek online.” Yasa hanya menatap sekilas Indira yang terus melamun. Wajah gelisah perempuan itu di kios penjual bunga membayang di wajahnya. Dia dilanda ketakutan.

Indira menunduk sesaat lalu mengangguk. Sadar Yasa tak leluasa melihat gerakan kepalanya, bibir Indira terbuka mengeluarkan suara.

“Akan aku coba.”

Dia tidak egois, bukan?

Bagaimana pun memang Yasa lah yang menyebabkan dia trauma naik ojek berseragam itu. Indira tak ingin mengingat lagi tapi kejadian itu tiba-tiba datang saat tanpa sengaja Yasa memintanya naik ojek. Seperti deja vu. Tapi kenangan suram yang dia ingat.

Saat itu, setelah makan malam perut besar Indira tiba-tiba nyeri. Dia berusaha meredam dan menahannya. Tapi nyeri yang datang tak kunjung pergi. Indira mengajak suaminya ke dokter. Tapi laki-laki itu justru menolak.

“Bukan kah beberapa hari yang lalu kamu baru saja pergi kontrol?”

Indira memang tak mengatakan jika perutnya sakit. Dia terlalu tinggi menahan ego tapi juga tak ingin terjadi sesuatu sendirian. Hubungannya dengan Yasa belakangan memang  kurang membaik. Selalu ada saja alasan beradu mulut.

“Kalau tidak mau mengantarkan, bilang saja. Enggak usah terlalu banyak alasan.” Indira kesal pada akhirnya. Dia sudah meminta baik-baik pada lelaki itu. Tapi raut yang diberikan Yasa tak sesuai harapannya.

Mendengar nada ketus Indira, darah Yasa naik. Dengan berdiri menghadap istrinya, Yasa menatap penuh emosi.

“Katamu dia hanya anakmu. Dan biasanya kamu pergi tanpa mau menungguku. Wajar kan, kalau aku sekarang bertanya? Hah, kupikir kamu sudah berubah, Ndi. Ternyata sama saja. Pergilah naik ojek seperti biasanya. Aku mau keluar.”

“Ke mana? Oh, aku lupa. Bertemu Meta seperti biasanya, kan?” Sahut Indira tak kalah keras. Membuat Yasa semakin mantap meninggalkan rumah.

Indira akhirnya memaksakan mengikuti perintah Yasa. Lalu semuanya terjadi begitu saja hanya dalam satu malam. Kaki Indira terpeleset saat turun dari motor yang membawanya ke rumah sakit. Entah karena nyeri yang membuatnya tergesa atau emosi yang membuatnya terlalu bersemangat. Tapi detik itu juga Indira sadar. Semuanya benar-benar sudah berubah.

Embusan pelan dan keras keluar dari bibir Indira. Hatinya tak sanggup meneruskan ingatan yang berjejal di kepala. Dia sudah belajar ikhlas. Dia sedang berusaha melepaskan. Tapi kenapa akhir pembelajarannya ditutup dengan ujian seberat ini?

“Kupikir kamu melupakan Janu.” Gumaman Yasa seperti sebuah bisikan. Tapi Indira dapat mendengarnya dengan jelas. Saking heningnya di sekitar mereka.

“Mana bisa aku melupakan satu-satunya alasan kenapa aku harus hidup.”

Sudut bibir Yasa terangkat, Indira dengan kalimat kejamnya sudah kembali. Meski tak ingin dirubung dengan kebencian. Setidaknya  melihat mantan istri kembali membencinya, lebih baik daripada melihat perempuan itu mengerang kesakitan. Yasa tidak tahu perasaan apa ini, tapi yang dia rasakan ada lubang di dadanya yang mulai membuat ruang.

“Kamu tak pernah mengunjunginya selama ini.” Yasa mengarahkan kemudinya ke kiri, satu belokan lagi mereka tiba.

“Tak pernah datang bukan berarti melupakan,” balas Indira lebih pelan. Membuat Yasa tak sanggup meneruskan kalimatnya.

Ruko yang menjual berbagai makanan berjejer di kiri jalan, penuh dengan pembeli. Di salah satu ruko itu ada langganan mereka dulu. Yasa ingin menawarkan makan siang, tapi dia yakin Indira akan menolak.

Begitu tiba di rumah Indira, perempuan itu segera turun. Namun tangan Yasa menahan  lengannya, membuat Indira menoleh.

“Oh, maaf. Terima kasih tumpangannya.” Indira bergumam lalu berpaling dan membuka pintu. Tapi gerakannya terhenti karena suara Yasa.

“Masih hujan. Pakai payung ini.”

Ragu akhirnya Indira menerima usulan Yasa. Bagaimana pun, kali ini dia benar-benar tak bisa menolak. Tak mungkin dia menunggu Uti sambil kehujanan, kan? Syukur-syukur kalau perempuan itu di rumah.

Pelan tapi pasti Indira keluar dari Pajero milik Yasa dan menutup pintu tanpa menoleh lagi. Dia sudah mengucapkan terima kasih, tapi mobil lelaki itu tak kunjung pergi. Memangnya dia mau apa lagi?

Menyuruhnya mampir?

Oh, tidak bisa.

Indira tak akan sudi mengajak lelaki itu memasuki rumahnya. Walau seharusnya lelaki itu berhak masuk ke sini karena rumah ini adalah pemberian dia. Akan tetapi tetap saja, sejak lelaki itu menyerahkan rumah ini selepas perceraian. Rumah ini menjadi milik Indira, bukan?

Indira benar-benar tak mau menoleh. Perempuan itu berjalan mendekati pintu gerbang dan berusaha membukanya. Tapi sepertinya usaha Indira sia-sia. Tangan perempuan itu lemas saat tahu pintunya terkunci.

“Mau mampir makan dulu? Sepertinya Uti masih di luar.” Tidak tahu kenapa dia tiba-tiba membuka jendela mobil dan menawarkan Indira menunggu bersamanya.  Perempuan itu menegang, terlihat dari punggungnya yang tegak. Lama Yasa menunggu Indira memberi jawaban atau sekedar menoleh padanya.

Indira tentu saja menggeleng.
“Kamu,” suara Indira tercekat. Seperti ada sesuatu yang menahan dintenggorokannya. “Pulang lah.”

Lelaki itu sadar diri. Dia kembali menutup jendela mobil dan meninggalkan Indira yang masih terpaku menatapnya.

Kupikir kamu sudah berubah, Mas.

Ternyata masih sama seperti dulu.

Selalu tidak peka.

Tahu ini keputusan yang bodoh,  Indira tetap percaya ini adalah yang terbaik. Dia tidak mau terjebak kedua kali dengan mantan suaminya. Sudah cukup perasaannya dibuat naik turun dalam seharian ini. Indira lelah. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi bangunan di depannya adalah rumahnya.

Rumah yang dia tempati sejak menikah dengan Yasa. Yang dibeli lelaki itu dari hasil tabungannya sendiri dan sisa pembayarannya dari tabungan setelah menikah.

Pernah suatu ketika saat sidang terakhir berlangsung, Indira mendengar orang tua Yasa mengutarakan kekecewaannya atas keputusan lelaki itu memberikan rumah ini padanya. Tapi Yasa dengan tatapan yang dalam padanya berkata jika ini yang terbaik.

“Rumah bisa dicari, tapi tidak dengan kenangan.”

-o0o-

Selamat berlibur semuanya...

Minggu, 26 Juni 2022.
Vita

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang