Bab 2

9 4 0
                                    

"Aku tahu niat aslimu. Namun, aku memilih diam dan mengikuti permainanmu. Sepertinya akan seru”

Malam ini badanku cukup kalah dengan keadaan. Penat yang kurasakan ternyata lebih mendominasi dari apa yang aku inginkan. Namun sebelum mata ini benar-benar terpejam, aku harus melakukan ritual muhasabah diri atas kesalahan.

Detik demi detik ku ulang kembali tayangan dalam memori otak ku. Memori ini sebisa mungkin harus memberikan data akurat atas semua dosa yang telah ku kerjakan selama satu hari penuh. Tak akan aku ijinkan satu dosa pun lenyap dari ingatan.
Detakan waktu terus menerus memproses kerja memori dikepalaku. Hingga sampailah rekaman kembali menayangkan tatapan mata yang masih terlihat asing dalam pancra indraku, yaitu retinamu.

Kudesak kepala ini untuk menampilkan data yang lebih jelas tentang pertemuan kita siang tadi. Namun, sebuah notifikasi seakan mengganggu acara pentingku untuk memproses data tentangmu.

“Dek, temannya Abang ada yang minta nomormu, gimana?”

Pesan itu sukses membuat kantukku hilang sempurna. Bahkan mampu meruntuhkan semua ingatan atas ritual yang aku lakukan sebelumnya. Mau tak mau malam ini aku ditarik ke dalam topik yang baru saja terlayangkan di depan mata.

Aku mulai terjebak pada topik pembahasan antara Abang dan adik yang tak mempunyai hubungan darah tetapi, selalu ada untuk memberikan motivasi agar hidup yang terjalani lebih terarah.

Komunikasi berjalan cukup lambat. Karena bagaimanapun aku harus mendapatkan informasi yang akurat tentang seseorang yang tiba-tiba ingin mendekat. Butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaanku.

Pada akhirnya jawaban yang kuterima cukup membuat kasur di kamarku bergetar atas ulahku. Wajah yang sebelumnya membentuk senyum seketika berubah menjadi sebuah tawa. Bagimana tidak. Jika jawaban yang kuajukan semuanya mengarah padamu, yaitu sumber data yang baru saja akan aku telisik menjadi kegiatan muhasabah diri.

Kali ini aku tak boleh lengah dan harus memutuskan pertimbangan yang cukup matang serta menyiapkan mental baja, aku mengizinkan kau bertegur sapa melalui media. Walau raga dan hati ini masih tak habis pikir atas tindakanmu untuk memperalat saudaraku sebagai juru kunci mendapatkan informasi tentangku.
Tak lama setelah acara perizinan terpenuhi, kau langsung melayangkan satu pesan padaku. Kau bilang hanya ingin mengklarifikasi tujuanmu, sedang aku sudah lebih dulu tau apa maksud pesan pertamu itu.

“Bolehkan aku berteman denganmu?”

Ingin sekali aku membalaskan pesanmu dengan balasan yang seharusnya.
“Please, Jangan modus!”.

Tak mungkin aku utarakan dengan pikiran yang masih terkontaminasi penuh dengan keraguan. Jujur, aku memang sangat anti dengan seseorang yang meng-kambing hitamkan kata “teman” dengan tujuan yang sebenarnya. Menyelipkan sebuah rencana agar hasilnya berjalan mulus tanpa ada kata curiga.

Namun, sudahlah. Kuikuti saja dulu cara bermainmu. Mencoba dan memaksakan diri untuk husnuzon jika kau memang benar ingin berteman bukan mencari tempat ternyaman.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang