Bab 4

3 2 0
                                    

"Berani melangkah untuk mengambil keputusan. Maka, berani pula untuk menjalani setiap hal hingga sampai pada tahap penentuan”

Hari-hariku kembali polos. Berakhir dengan kenaturalan tanpa adanya gangguan makhluk manapun di belahan dunia. Tanpa rentetatan alarm di sepertiga malam darimu dan tanpa sapaan pagi atas usaha dari jemarimu.

Sunyi, sepi dan kembali senyap seperti sedia kala.

Kemarin, saat kau menemani pagi hingga terbit senja, aku menjadi wanita paling munafik yang ada di dunia. Aku sangat gengsi untuk mengekspresikan bahagia atas kehadiranmu.

Kemarin, aku terlalu naïf untuk membenarkan sikapku jika aku mulai nyaman dengan semua usahamu. Serta akupun terlalu gengsi untuk mengirimkan pesan pembuka padamu.

“Maaf, beberapa hari ini laporan di kantor lagi numpuk jadi, aku harus fokus dengan situasi saat ini”

Ya, saat ini kau sudah mulai kembali menyelami rutinitas sebagai manusia pekerja. Sementara aku masih tak pernah bosan untuk mendalami dunia kata. Jauh sebelum aku menerima pertemanan denganmu, aku sudah memikirkan resiko ini. Namun, sebisa mungkin aku menapik semua pikiran buruk agar aku tak terpuruk.
Bukankah teman akan selalu ada untuk teman lainnya? Apalagi aku adalah teman barumu, iya kan?
Teman yang baik tidak akan meninggalkan temannya dalam kondisi apapun.

Permasalahannya adalah jalinan pertemanan kita baru saja berlangsung beberapa pekan saja. Bahkan, aku bingung menafsirkan arti pertemanan kita. Kita adalah teman bercerita, teman biasa atau teman yang bersifat mendamba?
Satu hal yang pasti, saat ini kita hanya teman dalam status yang masih simpang siur dan masih terus diselediki latar belakang dan motifnya.

Pernah terbesit di hati ini, jika kemarin aku terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk menjadikanmu seorang teman. Kupikir, aku terlalu berani mengambil resiko berteman denganmu.
Berteman dengan seorang pria dewasa. Berteman dengan seseorang dengan kapasitas sosial jauh melonjak di atas rata-rata. Berteman dengan seorang pria yang rela terbunuh untuk keluarga. Sementara aku hanya gadis belia yang diberikan kesempatan untuk menjalani pendidikan dengan suntikan dana dari saudara.

Aku tak pernah menyalahkan keadaanku saat ini. Sama sekali tidak! Karena aku sadar Allah Maha Adil dalam mengatur segala takdir hambanya. Sama seperti takdir  hubungan kita saat ini yang kembali normal seperti sedia kala.

Kau berjibaku dengan rutinitas berkelas menyelidiki rentetan laporan. Sementara aku harus sadar jika tugasku saat ini harus fokus menyenyam pendidikan.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang