Bab 3

6 2 0
                                    

"Sebuah kesalahan terbesar dalam pertemanan adalah melibatkan perasaan di dalam setiap kegiatannya”

Hari-hari yang dijalani kini tak lagi berakhir secara natural. Semua itu berkat ulahmu yang kerap kali tak pernah absen memastikan aku masih menggunakan sosial media dan masih ada di dunia.

Perlahan namun pasti, aku bisa menebak jika kau mulai ingin meruntuhkan tekad yang sebelumnya kubuat. Berubah menjadi protektif tentang urusan akhiratku. Ikut andil memastikan kesehatanku terjaga di setiap waktu. Bahkan, mulai sigap menjadi alarm pengingat saat sepertiga malam mulai menjelma ke alam mimpiku.

“Jangan lupa tahajjudnya ya!”

Pesan singkat yang pelan-pelan mulai merasuki sanubari dan hati. Pintu yang semula terkunci rapat, kini perlahan mulai mengendur. Mati-matian aku mempertahankan pintu ini agar tak goyah. Sementara, kau mempunyai trik jitu untuk tak pernah menyerah.

Kuakui, kau adalah laki-laki nekat yang pernah hadir. Segala daya dan upaya kau kerahkan demi membuat hati yang tertutup ini bisa terbuka dan menerima sebuah tamu. Lagi-lagi kata ‘teman’ mulai menghantui pikiranku. Ya, prediksiku ternyata benar tentang tujuan sebenarnya yang kau inginkan dariku. Kau memang tengah mencari tempat bernyaman.
Hari ini kuucapkan selamat padamu. Karena berhasil menempati pesan teratas dalam ponselku. Menjadi pembuka literasi kala mata dan tangan ini haus akan untaikan kata di pagi hingga menjelang terbitnya senja.

“Jangan lupa makan, jangan suka telat karena ngerjain tugas!”

Hari-hari berikutnya deretan pesanmu kembali merubah arah hidup yang kujalani. Mampu mengesampingkan tugas agar badan ini segera mengomsumsi apa yang sudah tersedia di atas nakas. Kau begitu kreatif untuk membujukku. Terkadang aku bahkan sadar jika sosok Ibu mulai hadir di dalam tubuhmu.

Kita berdua masih sama, yaitu memperjuangkan apa yang sudah kita pijaki sebelumnya. Namun, kini tugasmu bukan hanya merevisi tugas, tetapi juga berusaha keras membuktikan jika tak semua laki-laki itu berhati jahat dan keras.

Ya, kau memang mampu untuk mendobrak pintu hatiku secara perlahan. Namun, untuk hal kepercayaan, aku rasa masih banyak waktu yang harus kau kerahkan demi merubah pendapatku tentang kekecewaan.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang