Bab 11

1 1 0
                                    

“Aku takut kau sama seperti yang lalu. Aku takut kau hanya bercanda dengan kata-katamu. Serta aku takut, jika aku berkata “ya” kau akan berubah seperti sedia kala”

Entah ini hanya perasaanku saja, tetapi hari ini kamu memang sangat berbeda. Sikapmu perlahan menjadi posesif denganku. Jujur, perlahan aku mulai terganggu dengan perubahan sikapmu yang makin ke sini makin tak biasa.

“Kita cuma teman tidak lebih!”

Akhirnya kata itulah yang meluncur begitu saja. Maaf, jika itu melukai hatimu. Namun, sikapmu sudah keterlaluan untuk mengatur kebebasan bermainku. Walau tingkah kepolosanku masih sangat mendominasi, tetapi aku masih sangat menjunjung tinggi kehormatan dan keluargaku masih terus mengawasi.

“Baiklah kalau begitu, kapan aku bisa melamar kerumahmu?”.

“Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba kau mengalihkan perdebatan kita dengan topik yang lain?”.

Seketika tenggorokanku kering dan detak jantungku melemah. Ayolah teman, jangan seperti ini. Aku memang menginginkan kata lebih dari “pertemanan”, tetapi bukan secepat kata “lamar” yang harus kau lontarkan. Kata itu terlalu ambigu untuk hubungan kita yang masih semu.
“Kau jangan bercanda! Kau tau kan aku masih berada dalam masa pendidikan?”

Nafasku sudah bisa kunormalkan kembali. Bagaimanapun pembahasan ini harus segara menemukan titik terang. Sebisa mungkin kunetralkan emosiku yang sudah mulai melonjak jauh kepermukaan.

“Apa salahnya? Kita bisa menjalaninya dengan sebuah ikatan. Setelah pendidikanmu selesai kita bisa naik ke jenjang selanjutnya kan?”.

Kau tahu, tumpukan pikiranku baru saja berakhir. Tumpukan pikiran yang berasal dari beberapa dosenku yang sesuka hati menorehkan pertanyaan yang cukup menegangkan. Kini kau malah membuat masalah baru dengan membenaniku dengan pertanyaan-pertanyaan ambigu.

Ayolah, tak seharusnya kita berbedat setinggi ini. Kau tau, aku baru saja memasuki usia kepala 2 beberapa minggu lalu. Belum ada kepantasan dalam diri ini untuk membahas topik dewasa . Jujur, aku memang sangat sering mengkhayalkan bisa menikah di usia muda, tetapi untuk menjalani dan mempraktekkan dalam kehidupan nyata bukan secepat ini waktunya.

Aku tau usiamu sudah matang. Aku tau status sosialmu juga sudah kau siapkan jauh-jauh hari. Namun, keduanya belum cukup untuk pondasi kita berdua melangkah ke arah selanjutnya. Apalagi, saat ini kita masih berjibaku dengan rutinitas yang sama-sama mampu menjebak kita larut dalam dunia.

Pernikahan bukan semata-mata menyatukan dua insan yang saling mendamba, tetapi juga menyatukan dua keluarga yang sama sekali belum mengenal sifat asli kita. Bahkan, kau baru kemarin mengenalku dan sekarang kau memintaku untuk membersamaimu. Tolonglah, mengerti dengan keadaanku, aku belum siap!.

“Baiklah aku paham, lanjutkan pendidikanmu. Biarkan aku di sini selalu menunggumu sampai kau benar-benar siap!”.

“Aku tak pernah menyuruhmu menungguku, berjanjilah untuk tidak menungguku. Berjanjilah jika kau menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku nantinya kau harus menerima dan membuka hatimu untuknya!”

Jahat! Itu pantas untuk kau utarakan untukku. Namun, inilah kejujuranku. Aku tak mau kau terikat dengan hubungan yang masih samar ini. Beberapa manusia pasti akan marah dengan sikapku padamu. Biarlah itu menjadi urusanku.

Aku bisa saja menerima semua permintaanmu. Namun, entah kenapa masih ada rasa ragu yang teramat besar menganjal di hati ini untuk mempercayai ajakanmu. Mungkin kau sudah jujur mengutarakannya, tetapi entahlah, aku masih sangat sukar untuk mempercayainya jika kau benar-benar ingin memilikiku sepenuhnya.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang