Bab 23

1 0 0
                                    

“Hari ini kau tak hanya berhasil mencuri hatiku, tetapi juga restu Ibuku”

Perjalanan kita sudah sangat jauh hari ini. Kau bukan hanya berhasil mencuri hatiku, tetapi juga berhasil mencuri restu Ibuku. Ya, aku cukup terbuka padanya dalam segala hal. Jadi apapun yang aku dapatkan di luar sana akan aku bawa pulang dan akan kubagikan padanya sambil bersandar di pundaknya.

Semua cerita itu kurangkai dengan sempurna. Sehingga perlahan-lahan Ibuku selalu menuntut cerita yang baru. Tak heran, setiap aku kembali dari kos, Ibu selalu menagih cerita tentangmu untuk awalan pembahasan. Kadang-kadang aku sangat iri padamu. Aku ini anak kandungnya, tetapi kau yang menjadi prioritas untuk pertama kalinya.

“Si Abang, kabarnya gimana Mbak?”

“Mamak kebiasaan ih, bukan tanya kabar anaknya, malah tanya kabar anak orang lain!”

Selalu kalimat itu yang Ibuku ucapkan untuk memancingku. Aku yang sudah hafal di luar kepala langsung menjawabnya dengan sebuah narasi yang cukup rinci tanpa kurang satu apapun.

“Alhamdulillah, sehat dan hubungan kami baik-baik saja” ya kurang lebih itulah inti yang aku sampaikan tentangmu pada Ibuku.

Kau tahu, ketika ceritaku selesai. Respon yang Ibuku tunjukan cukup membuat harapanku kembali memuncak. Bagaimana tidak, orang yang paling aku sayangi, seketika bisa tersenyum lepas karena cerita antara kita. Jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku juga sangat ingin bahagia denganmu.

“Kapan, si Abang main kerumah Mbak?”

Deggg…(begitulah kira-kira bunyi detak jantungku) saat pertanyaan itu yang di lontarkan Ibu untukku. Seakan urat nadiku tergores saat itu juga. Sebagian orang mungkin biasa saja saat mendengarkan permintaan itu. Namun, sangat berbeda dengan diriku. Rasanya permintaan itu sangat sulit untuk aku wujudkan bukan hanya untuk Ibu, tetapi juga untuk diriku sendiri.

Alasan terkuat aku tidak bisa mewujudkannya adalah kesibukanmu. Walau perkenalan kita hanya bisa terhitung oleh jari, tetapi sedikit banyak aku sudah mengetahui seluk-beluk kegiatanmu di luar sana. Bahkan, untuk makan saja waktumu sungguh sangat singkat.

Hari-hari berlalu, permintaan Ibuku semakin lama semakin menekan pikiranku. Ibu masih terus mendesakku untuk segera menghadirkanmu di hadapannya secara langsung bukan via suara ataupun via tatap muka melalui media. Ibu sangat ingin bercengkrama dengamu secara langsung. Bukan hanya sepenggal cerita, dengan aku sebagai perantaranya.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang